RENUNGAN
.co
christian
online
Renungan

BERSINERGI MEMBANGUN SPIRITUALITAS ANAK

Dari Renungan

Langsung ke: navigasi, cari

BERSINERGI MEMBANGUN SPIRITUALITAS ANAK

Oleh: Hans Yakub Lekipera, STh, M.Min

Sekolah Minggu berawal dari Inggris di tahun 1780 di bawah seorang guru bernama Robert Raikes. Pada awalnya, Sekolah Minggu merupakan sebuah sekolah sederhana untuk anak-anak miskin belajar menulis dan membaca, sehingga mereka bisa mengerti apa yang tertulis dalam Alkitab. Pelajaran tersebut juga termasuk menghafal ayat-ayat tertentu dan lagu-lagu rohani. Konsep ini ternyata sangat berhasil dan diikuti oleh banyak gereja. Kemudian suatu gerakan pendidikan muncul akibat dari Sekolah Minggu ini. Orang-orang semakin ingin belajar untuk membaca dan menulis.

Menjadi nyata bahwa fokus utamanya adalah anak bisa mengerti apa yang tertulis di dalam Alkitab. Belajar membaca dan menulis adalah proses untuk bisa mengerti firman Tuhan yang tertulis dalam Alkitab. Dalam konteks kita sekarang memang tugas mengajarkan anak membaca dan menulis adalah peran para guru di sekolah, yang tentu juga membutuhkan peran aktif dari orang tua. Oleh karenanya dalam kurikulum Sekolah Minggu sudah tidak disibukkan lagi dengan mengajarkan anak-anak membaca dan menulis.

Walaupun demikian, fungsi ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Mungkin tidak perlu diberi nama pelajaran membaca dan menulis. Zaman sekarang sudah banyak metode praktis bagaimana mengajarkan anak membaca dan menulis, yang tentu dapat dikombinasikan dengan pelajaran di Sekolah Minggu. Sehingga bagi anak-anak yang memang masih mengalami kesulitan dalam membaca dan menulis dapat terbantukan.

Diharapkan dengan kegiatan pembelajaran di Sekolah Minggu, anak-anak dapat belajar akan firman Tuhan dan bertumbuh di dalam pengenalan akan Tuhan. Yang pada akhirnya sikap takut akan Tuhan dapat terpatri di dalam diri mereka. Untuk itu satuan pelajaran harus dirancang dan disusun dengan sebaik mungkin, karena itulah yang menjadi kurikulum bagi proses belajar mengajar.

Namun sebaik apapun kurikulum Sekolah Minggu, jika tidak melibatkan unsur orang tua, maka akan mengalami ketimpangan. Terjadi di hampir semua Gereja, tanggung jawab untuk ini hanya dibebankan kepada guru sekolah minggu (GSM), seolah merekalah pemegang tanggungjawab utama pendidikan iman bagi anak-anak. Para orang tua pun berlindung di dalam situasi ini, tanpa menyadari bahwa sesungguhnya tanggung jawab utama pendidikan iman anak ada di tangan mereka.

Proses pembelajaran iman di Sekolah Minggu dalam seminggu hanya berlangsung sekitar 2 jam, sedangkan waktu anak-anak di rumah bersama orang tua dalam sehari saja lebih dari 10 jam, berarti dalam seminggu lebih dari 70 jam. Yang menyedihkan adalah ketika anak menunjukkan sikap “bandel”, serta merta orang tua menyoroti kinerja GSM, tidak becus, tidak bisa mendidik anak. Padahal tugas utama itu ada di pundak orang tua.

Oleh karena itu, satuan pelajaran atau kurikulum Sekolah Minggu harus dirancang sedemikian rupa sehingga mengakomudir peran orang tua. Aspek evaluasi terhadap sisi afeksi dan psikomotorik dapat digali dari keseharian anak di rumah, dan untuk ini orang tua yang lebih tahu, karena merekalah yang memantau keseharian anak-anak.

Jika ini dapat dilakukan, maka akan terjadi sebuah sinergi yang baik bagi pertumbuhan iman anak-anak. Tentu ini menjadi tanggung jawab kita semua.