RENUNGAN
.co
christian
online
Renungan

Menghadirkan Damai Melalui Rekonsiliasi

Dari Renungan

Langsung ke: navigasi, cari

Menghadirkan Damai Melalui Rekonsiliasi

Oleh: Teguh Haryanto STh

Kata rekonsiliasi terdengar menakutkan. Kata ini dihubungkan dengan keadaan kacau balau yang terjadi di suatu daerah yang ditimbulkan oleh konflik. Tidak ada pihak yang mau mengalah masing masing menganggap benar dengan alasan dan dasar keyakinan yang benar. Konflik yang terjadi di Aceh, Ambon, sampai Papua dan beberapa daerah di Tanah Air terkesan menakutkan. Untuk mengatasi konflik ini dibutuhkan negosiator, mereka yang bertugas menjadi juru damai. Tugas mereka adalah merekonsiliasi atau menengahi pihak pihak yang berkonflik sehingga kembali menjadi damai seperti semula.

Intensitas kata rekonsiliasi bila diterapkan pada keluarga tentu berbeda. Bisa dibuat sederhana namun juga bisa menjadi rumit sejauh mana persoalan keluarga dipandang. Oleh kaca mata seorang pemerhati masalah keluarga yang bernama M.A.W. Brower melihatnya sangat sederhana mengenai rekonsiliasi, perhatikan apa yang dikatakannya: ”Keluarga adalah keadaan di mana orang tergabung dengan orang lain. Bapak dengan Ibu, Ibu dengan anak, anak dengan bapak, anak dengan anak. Setiap orang dalam keluarga mengurus kepentingannya sendiri dan mengikuti jalannya sendiri. Tapi jalan-jalan itu saling bersentuhan dan punya satu muara, yaitu alam umum keluarga. Setiap orang campur tangan dalam urusan orang lain dalam keluarga. Mengadili yang lain, mengritik yang lain. Kakak minun dari cangkir adiknya, adik memakai piring kakaknya . Anak memakai dasi ayah, dan adik perempuan memakai sarung ibu… Mereka berselisih bertengkar, mengkritik dan berkelahi. Tapi tidak usah berdamai atau minta maaf. Sebab tak pernah mungkin bahwa seseorang betul betul salah terhadap yang lain. Dia adikku, dia kakakku, tak usah diampuni “ (dari Bapak Ibu, dengarlah). Kata-kata Brower ini menyatakan rekonsiliasi dalam keluarga mengalir begitu saja tanpa ada pihak-pihak menginterfensi baik dalam keluarga atau pihak luar keluarga. Perlukah pihak ke tiga dilibatkan ketika ada perselisihan dalam keluarga? Tunggu dulu dan tahan jangan buru buru lapor ke RT atau lainnya pun seandainya terjadi KDRT.

Bukan masalah malu diketahui orang lain. Persoalan keluarga sekalipun mendapat pertolongan konsultan keluarga yang handal sekalipun tidak akan dapat menyelesaikan dan mengakhiri masalahnya bila keluarga itu sendiri tidak mau berdamai. Mereka hanya membantu apabila diundang dan diperlukan. Tetapi rekonsiliasi ada pada keluarga sendiri, kunci dipegang oleh setiap anggotanya. Tidak ada persoalan yang tidak dapat diatasi dalam keluarga, serumit dan sepelik apapun, bahkan keluarga yang nampaknya sudah tidak memiliki harapan tetap saja ada solusi untuk mengatasinya. Rekonsiliasi menjadi bagian yang tidak terkatakan sejak suami dan istri disatukan dalam ikatan perkawinan. Ketika keduanya mengatakan untuk “menerima” sebagai suami atau istri kemudian lebih lagi berjanji “ dalam sehat ataupun sakit dalam susah atau senang’ di sana ada kata-kata yang tak terucapkan “rekonsiliasi”. Ketika seseorang mau menikah pada saat pacaran baiklah lebih dahulu untuk belajar “proses rekonsiliasi” pada pacarnya. Lihatlah mereka saat pacaran nampaknya tidak banyak masalah, masing masing berusaha ingin berpenampilan menarik, menyenangkan, baik, perhatian, pengertian tidak lupa berusaha saling memberi pujian dan sanjungan. Kamu cantik, ganteng dsb. Mungkin ada pertengkaran tetapi bukan itu yang menyebabkan perpisahan, tetapi jika mereka sudah kehilangan jiwa rekonsiliasi atau sudah tidak nyambung lagi baru mereka akan memilih untuk pisah.

Membentuk keluarga berarti siap mengalami rekonsiliasi terus menerus. Anggaplah mesin selalu membutuhkan oli yang mendinginkan dan melicinkan suasana keluarga. Di dalam keluarga ada kehidupan, ada gerakan dinamis dan inovatif. Masing masing memiliki kebebasan untuk bergerak tetapi juga terikat dan bergantung satu dengan lain. Seperti setiap onderdil mesin bergesekan tetapi tidak saling merusak melainkan saling dibutuhkan menjadi satu gerakan bertenaga.

Pergumulan kita adalah siapa yang menjadi power atau kekuatan penggerak yang merekonsiliasi terus menerus dalam keluarga. Keluarga Kristen, disatukan oleh semangat kasih Tuhan. Dengan semangat cinta kasih, tiap orang dalam keluarga memiliki kesadaran dan kemauan untuk mengoreksi diri sendiri, menerima berbagai kebenaran dan kritik positif dari sesama anggota keluarga serta bersedia mengubah diri. Pengalaman menerima kritik dari sesama anggota keluarga akan memampukan kita untuk menerima kritik dari orang-orang lain di luar keluarga.

Mari kita perhatikan skema yang tergambar berikut ini mengacu pada hubugan yang seimbang antar anggota keluarga dalam keluarga Kristen, tampak bahwa suami dan istri yang saling, mencintai, mengasihi dan setia untuk mempersembahkan cinta dan kesetiaan kepada Kristus karena Kristus telah lebih dahulu mengasihi keluarga. Dalam kesetiaan dan kasih kepada Kristus, orang tua berkewajiban mendampingi, membimbing dan memelihara anak-anaknya, terutama memberikan rasa aman secara psykologis, biologis maupun sosial. Anak-anak wajib menghormati dan mengasihi orang tua dalam kekurangan dan kelebihan mereka sebagai orang tua. Dengan demikian hubungan antar anggota keluarga haruslah seimbang semua saling memberi dan menerima.

Dalam 1 Korintus 11: 3; Kolose 3: 18-21; Efesus 5: 22-6: 4. Rasul Paulus menegaskan apa artinya menjadikan Kristus sebagai Kepala supaya di dalam keluarga selalu ada jalan keluar bagi masalah yang dihadapi keluarga. Dasar keluarga adalah jalan yang lebih utama dalam membuat ikatan keluarga menjadi makin kuat serta mampu bertahan dari berbagai persoalan. Inilah dasar keluarga itu:

  1. Memprioritaskan Kristus dalam keluarga. Menjadikan ibadah sebagai napas hidup keluarga.
  2. Sikap saling mengasihi dan saling menghormati dalam keluarga.
  3. Cinta kasih yang tanpa batas yang dimiliki setiap anggota keluarga untuk memiliki tekad saling berkorban demi keutuhan lehidupan keluarga.
  4. Sikap empati dan simpati antar sesama anggota keluarga sebagai kunci mengatasi berbagai problematika dalam keluarga.

Rekonsiliasi dalam keluarga jangan dibayangkan seperti konflik yang tejadi di Ambon, Poso, dan daerah-daerah lain di Tanah Air. Jangan menunggu sampai semua menyadari adanya masalah, tetapi ada masalah atau tidak dalam keluarga siap “rekonsiliasi” bersedia memberi dan menerima, mengkritik dan menerima kritikan, melukai dan siap dilukai tetapi masing-masing selalu membawa obat dan perban untuk mengobati dan membalut luka pasangan dan setiap anggota keluarga. Perhatikan puisi indah ini:

Christ is the Head of this home
The silent Listener to every conversation
The unseen guest at every meal

Semoga artikel ini mendasari Keluarga kita yang siap dan selalu merekonsiliasisi diri setiap anggota keluarga . Sebab Kristus hadir sebagai pendengar meskipun Ia diam. Kristus adalah tamu yang tidak kelihatan setiapkali kami makan (makan bersama semeja gambaran inti sebuah keluarga).

• Alumnus Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Jogjakarta