Dari Renungan
Oleh: Wahyu Wibisana
Suatu kali seorang kawan bercerita bagaimana dua orang anaknya begitu sulit untuk berbagi. “Setiap hari anak-anak saya kerap ribut soal banyak hal. Kakaknya tidak mau mengalah, demikian juga sebaliknya. Dari sekedar makanan, sampai soal mainan. Sehingga isteri saya biasanya kesulitan membujuk keduanya kalau sudah bertengkar,” kata kawan saya itu.
Persoalan ini sebenarnya memang bukan hanya monopoli kawan saya itu saja. Karena masalah ini hampir dihadapi oleh sejumlah orang tua di era globalisasi ini. Keengganan berbagi antar anak-anak sudah menjadi sebuah rahasia umum dan jadi salah satu kesulitan orang tua dalam mendidik anaknya. Mereka jadi bingung mengajarkan bagaimana cara anaknya mau berbagi kepada orang lain.
Kesulitan itu diperparah karena dunia anak kita saat ini terus “dijejali” ajaran tentang keegoisan. Di mana oleh televisi, anak-anak kita diajarkan untuk mendahulukan kepentingan pribadinya di atas kepentingan orang lain. Semua diajarkan baik melalui sinetron, film, kartun hingga iklan yang tersaji di layar kaca. Sehingga anak-anak akan kesulitan untuk berbagi, tak hanya kepada orang lain tapi juga kepada adik, kakak atau bahkan ayah ibunya.
Ada saja alasannya yang muncul ketika anak-anak kita tidak mau berbagi dengan kakak atau adiknya. “Nanti saya kurang” atau “Saya saja belum kenyang!” atau “Tadi juga kakak nggak bagi permen sama aku!”. Begitu biasanya alasan anak-anak yang tak mau berbagi dengan saudara atau temannya.
Di sinilah kemudian peran orang tua menjadi sangatlah vital. Sebagai orang tua, kita tidak bisa mengajarkan kepada anak-anak kita hanya dengan sekadar menyuruh atau memerintahnya. Apalagi pakai embel-embel kata “harus berbagi”. Wah, anak yang dipaksa pasti akan marah besar. Dia akan menuding kita tidak adil dan ini pasti berpengaruh pada masalah psikologisnya di kemudian hari.
Sebagai orang tua, kita harus bijak menanamkan nilai-nilai berbagi sebagai sebuah kesadaran yang alami dan tanpa paksaan. Kita harus memberikan penjelasan bahwa berbagi itu harus dilakukan sebagai sesama manusia karena Tuhan memang menginginkan kita saling berbagi.
Beri penjelasan soal berbagi seperti dituangkan dalam Ibrani 13:1-2, bahwa setiap kita diajar untuk memelihara kasih persaudaraan, memberi tumpangan kepada orang lain, dan seterusnya. Artinya kita diajarkan bahwa hidup itu tidak berorientasi kepada diri lagi, tetapi memiliki semangat berbagi dengan orang lain.
Berikan juga contoh-contoh kisah menyentuh terutama yang bicara soal masalah “cukup atau tidak cukup” yang menjadi alasan mereka menolak untuk berbagi. Kita bisa menceritakan bahwa dalam pelayanannya, murid-murid Yesus pun kerap dihadapkan pada masalah “cukup atau tidak cukup” tadi (Yoh 6:1-15).
Para murid dihadapkan pada persoalan bagaimana membagi lima roti dan dua ikan kepada 5000 orang, namun karena para murid mencintai dan mau menuruti perintah Yesus, segalanya menjadi mungkin. Bahkan bukan saja mereka yang memberi dicukupi, tapi juga jadi berlebih.
Hal sederhana lainnya adalah dengan memberikan contoh bahwa hidupnya jauh lebih beruntung karena diberkati Tuhan lebih dari orang lain. Dia masih punya papa dan mama yang lengkap, punya kakak atau adik, punya sanak saudara yang menyayangi mereka. Coba mereka bandingkan dengan saudara-saudara mereka yang tinggal di panti asuhan atau mereka yang hidup di jalanan. Atau mereka yang tak punya tangan dan kaki. Ajarkan mereka agar merasa bersyukur atas keadaannya, dengan demikian mereka akan siap berbagi dengan orang lain. Selain berbagi!