Dari Renungan
Oleh: Hans Yakub Lekipera, STh, M.Min
Semua kita tentu mendambakan kebersamaan dalam keluarga. Selalu ada acara-acara bersama di rumah, apalagi moment-moment penting seperti ulang tahun, kenaikan kelas, liburan sekolah anak-anak, Natal, dsb. Kalau di pedesaan mungkin masih memungkinkan terwujudnya semua itu. Karena keluarga-keluarga yang di desa relatif selalu bersama, karena pekerjaan sebagai petani dalam satu area. Namun di perkotaan dengan dinamika yang sangat kompleks, kesibukan-kesibukan dalam dunia kerja, belum lagi soal kompetisi-kompetisi, menjadikan rasanya sulit mewujudkan hari-hari spesial yang bisa berkumpul bersama keluarga.
Revolusi Industri sumber:Sumber Revolusi Industri di Eropa Jika menengok bagaimana sistem perekonomian masyarakat Eropa sebelum abad ke-18, kita dapati bahwa sistem perekonomian mereka sangat bergantung pada sistem ekonomi agraris. Namun setelah memasuki abad ke-18 terjadi perubahan besar, yang ditunjukkan dengan mulai digunakannya tenaga mesin sebagai alat produksi di pabrik-pabrik menggantikan tenaga manusia dan hewan. Perubahan inilah yang disebut dengan Revolusi Industri. Sehingga Revolusi Industri dapat dikatakan sebagai suatu peristiwa yang mengubah sistem ekonomi agraris menjadi sistem ekonomi industri yang menggunakan tenaga mesin sebagai alat produksinya, menggantikan tenaga hewan dan manusia Sebelum dikenal alat-alat mekanis dan otomatis, masyarakat Eropa bekerja dengan menggunakan alat-alat manual (menggunakan tenaga manusia) dan masih mengandalkan kecepatan kedua tangan dan kaki. Artinya, alat-alat tersebut tidak akan berfungsi dan bekerja jika tidak ada tangan atau kaki. Peralatan yang dimaksud seperti cangkul, parang, sekop, gergaji, pisau, pengukur, palu, penenun, pemintal, pancung, jala, pendayung, dan lain-lain. Setelah ditemukan mesin pemintal, mesin tenun, lokomotif, dan sebagainya, tidak digunakan oleh tangan dan kaki, tetapi oleh mesin uap. Dengan demikian, pada masa revolusi industri terjadi penghematan tenaga manusia. Setelah revolusi industri terjadi, perbedaan pola hidup masyarakat sangat terlihat sekali.
Dampaknya terhadap Keluarga Tentu situasi tersebut sangat berdampak kepada kebersamaan dalam keluarga. Pada masa sebelum revolusi industri, masyarakat mengembangkan home industri, masing-masing keluarga dapat memiliki home industri. Hal ini memungkinakan masing-masing anggoita keluarga dalam menjalankan industrinya tanpa harus meninggalkan rumah, tanpa harus meninggalkan anggota keluarga lainnya. Ketika perkembangan industri bergeser dari home industri yang mengandalkan tenaga manusia secara manual, menjadi industri yang tidak lagi menggunakan mesin-mesin, mendesak setiap orang keluar mencari pekerjaan. Pada akhirnya suami/ayah yang sebelumnya dapat bekerja di rumah, harus meninggalkan rumah bekerja di tempat lain. Bahkan anak-anak yang memasuki usia produktif pun harus meninggalkan rumah untuk bekerja. Praktis di rumah hanya tinggal istri/ibu beserta anak-anak yang belum masuk usia produktif. Pada akhirnya, waktu untuk berkumpul bersama praktis hanya pada sore dan malam hari. Apalagi kalau tempat bekerjanya di luar kota, hari-hari yang mereka lalui tidak dalam suasana berkumpul bersama, selain pada masa-masa week end saja. Sebelumnya, pada masa home industry, sesibuk-sibuknya dalam bekerja mereka tetap bersama dan komunikasi di antara mereka pun selalu terjadi, tidak terputus. Perkembangan industri modern jauh membawa dampak bagi kebersamaan keluarga. Tidak hanya suami/ayah yang terjun dalam dunia industri, dunia kerja, para istri/ibu pun terjun dalam dunia kerja. Jadi, jika suami-istri terjun dalam dunia kerja, praktis tinggal anak-anak di rumah. Pagi-pagi subuh orang tua sudah bergegas ke tempat kerja di saat anak-anak masih tidur, saat orang tua pulang dari tempat kerja sudah malam saat anak-anak sudah tidur. Kalau anak-anak yang sudah usia produktif juga terjun dalam dunia kerja, tinggal anak-anak yang masih kecil-kecil yang dijaga oleh pembantu rumah tangga.
Bagaimaana Menyikapinya Itulah tuntutan dunia kerja, dunia industri, yang memaksa setiap orang yang terjun di dalamnya mengikuti iramanya. Setiap anggota keluarga yang terjun dalam dunia kerja terhisab dalam pola dan dinamika yang ada. Namun sebagai keluarga Kristen kita tidak bisa melupakan begitu saja panggilan untuk menyatukan keluarga dengan cinta kasih. Sesempitnya waktu yang dimiliki, tidak berarti tidak ada waktu sama sekali. Artinya masih ada waktu untuk bisa menyatakan kerbersamaan, menjaga dan memelihara kebersamaan keluarga. Jika ada cinta kasih, maka masing-masing anggota keluargaa akan berusaha untuk bisa menjalin pertemuan-pertemuan bersama. Saya masih ingat saat mewawancarai Pak Ahok (telah diterbitkan di edisi Januari 2015), saat saya mengajukan pertanyaan bagaimana waktu untuk keluarga dalam situasi kesibukan bapak yang begitu luar biasa. Beliau menuturkan bahwa memang dia pulang paling cepat sampai di rumah sudah jam 11 malam, tetapi istri dan anak-anak masih tetap menunggu, walau mungkin hanya say hello, menyapa dan mengucapkan selamat malam. Setelah itu baru mereka masuk kamar masing-masing untuk tidur. Pada subuh jam 4.30 mereka bangun untuk saat teduh bersama, sebelum olahraga. Setelah olahraga masing-masing sibuk mempersiapkan diri untuk aktivitas mereka. Dari kisah Pak Ahok ini, kita bisa belajar dari anak-anaknya yang tetap menunggu ayahnya walau mungkin sekedar menyapa selamat malam papa, selamat istirahat. Tetapi waktu yang mereka sempatkan untuk itu tentu didorong oleh cinta kasih yang begitu besar kepada ayah mereka. Mereka berjuang mengalahkan rasa kantuk mereka demi mengungkapkan cinta kasih kepada orang tua. Belum lagi, bagaimana waktu yang dipakai untuk bersaat teduh, walau mungkin hanya beberapa menit, tetapi kualitasnya sungguh besar, mereka berkumpul dan bersekutu di dalam Tuhan. Jadi, bukan lagi soal tuntutan kerja yang menyita waktu, tetapi apakah kita mau menyediakan waktu untuk menjalin pertemuan-pertemuan keluarga agar jalinan cinta kasih itu tetap terpelihara. Jangan pernah tergarami oleh situasi kesibukan kerja yang menyita waktu. Ikan di laut setiap harinya selalu ada di dalam air asin, tetapi dia tidak pernah menjadi asin. Hanya ketika mati, baru ikan itu bisa tergarami oleh air asin itu. Keluarga kita adalah keluarga yang hidup, bukan keluarga yang mati.