Dari Renungan
Istri yang Memandang Rendah Suami
Dapur Solo, salah satu restoran di Jakarta yang ramai dikunjungi orang. Kesuksesannya tidaklah mudah, bermula dari kejenuhan, sebuah inspirasi muncul secara tiba-tiba. "Tiba-tiba saya ingat bahwa saya suka makan rujak. Ide itu terus menggebu-gebu di hati saya. Udah lah, jalanin," ujar Swandani membuka kesaksian hidupnya.
Hanya bermodalkan uang seratus ribu rupiah, Swandani memulai usahanya berjualan rujak. Dengan gigih, tanpa rasa malu, dia berkeliling dengan sepeda menawarkan dagangannya. "Setiap orang yang ketemu di komplek perumahan, saya kasih brosur dan ternyata hasilnya lumayan". Banyaknya pelanggan membuat Swandani membuka garasi di rumahnya sebagai tempat berjualan. Namun, batinnya mulai bertanya ketika kesuksesan itu datang. Ia sebenarnya kesal saat mau memulai usaha di bidang makanan, namun karena paksaan suami, ia pun melakukan juga.
Sejak kuliah, Swandani mempunyai cita-cita untuk keliling dunia, namun pupus sudah harapannya ketika dia menikah dengan Heru. Ia tidak dapat bekerja di kantor. Heru berpikiran bila Swandani mau bekerja maka ia harus bekerja di rumah saja. Menurutnya, usia pernikahan yang masih muda, belum memiliki anak sangatlah rentan dengan permasalahan klasik orang tua berkarir. Namun, ternyata hal itu seperti kekangan bagi istrinya dan ia tidak menyadarinya.
Swandani yang sudah mulai kesal dengan perilaku sang suami pun mulai membuat perhitungan. Karirnya yang sudah terhambat dijadikan sebagai motif pembuktian bahwa dengan bekerja di rumah pun, ia dapat sukses bahkan bisa lebih sukses daripada suaminya. Dan hal itu menjadi benar-benar menjadi kenyataan.
Keberhasilannya membuat Swandani menjadi sombong. Ia mulai merendahkan Heru, yang pendapatannya lebih kecil. Konflik pun mulai terjadi. Tidak ada hari tanpa bertengkar dan bertengkar. Saat terjadi keributan, Swandani tidak jarang mengeluarkan kata-kata pelecehan dan kasar kepada sang suami, membuat Heru sakit hati. Dalam batinnya, ia mulai berjanji bahwa apa yang dikatakan istrinya itu salah besar.
Konflik keluarga pun terus berlanjut ketika suaminya ingin bergabung dengan usaha Swandani. "Saya mau ikut kelola rumah makan ini. Saya mau bikin menjadi besar. Saya punya obsesi seperti itu karena saya punya komitmen bahwa satu keluarga satu kepemilikan gitu," kata Heru.
Permintaan suaminya itu ditolak oleh sang istri yang menganggap bahwa suaminya hanya mencari keuntungan setelah ia seorang diri membangun usahanya dengan berjerih lelah. Selain itu, rasa dendam yang masih tersimpan kuat dalam diri Swandani adalah alasan terkuat untuk tidak menerima Heru menjadi bagian dalam perusahaan itu.
Namun, di saat kesuksesan telah Swandani dapatkan ada satu perasaan yang menghantuinya. Perasaan yang selama ini belum pernah dialaminya.
"Saya mempunyai penghasilan yang sekarang ini boleh dibilang suami saya sudah kalah dengan saya. Konflik-konflik itu membuat saya merasakan suatu kekosongan dan saya ingin mempunyai suatu keluarga mempunyai penghasilan yang cukup, keluarga yang rukun, yang saling menerima. Itu kerinduan saya saat itu," ujarnya.
"Dan kebanyakan selama ini kami saling menuntut untuk berubah," kata Heru datar.
Dalam waktu dan tempat yang berbeda, Swandani dan Heru mengikuti sebuah pertemuan. Heru mengikuti camp khusus pria, sedangkan Swandani mengikuti camp wanita bijak. Di sana, tanpa disadari mereka membuat sebuah keputusan yang akan mengubah kehidupan keluarga mereka. Sepasang suami istri ini mendapatkan pencerahan bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah salah. Pihak wanita sadar bahwa selama ini ia tidak tunduk terhadap sang suami dan menganggap bahwa berkat yang datang itu benar-benar atas kerja kerasnya. Sedangkan di pihak pria menyadari bahwa ia sedikit sekali mendengarkan istri, padahal hanya itu yang perlu dia sediakan bagi istrinya.
Saat suami istri itu pulang ke rumah, mereka pun saling membuka hati dan bermaafan. Mereka berkomitmen membuka lembaran baru. Saat terjadi rekonsiliasi itulah, sebuah kata-kata ajaib keluar dari mulut Swandani.
"Saya mempersilahkan suami saya untuk mengambil alih pimpinan atau nahkoda kapal ini dan suami saya menerima dengan senang hati. Selama ini, dia pun merasakan penolakan terhadap dirinya untuk mengemudikan perusahaan ini."
Penundukkan diri Swandani terhadap suaminya dan kesehatian mereka berdua, Tuhan berkati usaha mereka dengan luar biasa. Dari sebuah garasi, kini Dapur Solo berkembang dengan dua Outlet dan mengayomi 80 karyawan.
"Terbukti ketika kita setia dan kita taat pada firman dan hukum- Nya dalam menjalani proses ini ternyata kita dibentuk menjadi sesuatu yang lebih indah," kata Heru.
"Saya sangat bersyukur pada Tuhan Yesus dan saya merasakan Dia begitu baik pada saya. Tuhan telah memberi semua yang saya impikan, apa yang saya cita-citakan. Keluarga saya dipulihkan dan saya merasakan sekali berkat Tuhan di keluarga saya saat ini," ujar Swandani mengakhiri kesaksian keluarga mereka.
- Sumber Kesaksian: Swandani Kumarga (jawaban.com)