Dari Renungan
Oleh: Yanti Purnamasari Napitupulu
Bukan rahasia umum lagi bahwa jasa besar Gus Dur adalah mengukuhkan panji-panji pluralisme. Sebab itu, pernyataan bahwa Gus Dur adalah pejuang pluralisme merupakan sebuah realitas yang tidak terbantahkan lagi.
Gus Dur berada di barisan terdepan dalam memperkuat pluralisme di bangsa ini. Istimewanya, pluralisme yang dikembangkan Gus Dur tidak hanya pada tataran pemikiran, melainkan menjadi sebuah tindakan sosial-politik. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan Gus Dur secara eksplisit menjadikan kebangsaan sebagai pijakan utamanya. Padahal, partai tersebut didukung sepenuhnya oleh basis kalangan muslim tradisional. Gus Dur telah mampu menggabungkan antara pemikiran dan tindakan pluralisme.
Pluralisme pertama-tama dimulai dari kesadaran tentang pentingnya perbedaan dan keragaman. Sebab perbedaan merupakan fitrah yang harus dirayakan dan dirangkai menjadi kekuatan untuk membangun harmoni di dalam kehidupan sosial. Adapun anggapan bahwa pluralisme akan menjadi sinkretisme merupakan pandangan yang cenderung mengada-ada. Kenyataannya, pluralisme dan sinkretisme sangat tidak identik.
Kerukunan Beragama dan Interaksi Sosial
Semenjak berdirinya komunitas Kristen di Mojowarno tahun 1845 dan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang usianya sama-sama lebih dari satu abad yang lalu, ternyata sentral agama Kristen Mojowarno dan Islam Tebuireng yang letaknya bisa dikatakan berdampingan, tidak pernah terjadi gesekan atau konflik apapun dari perbedaan agama tersebut. Mereka hidup dengan penuh ketenangan dan kedamaian selayaknya saudara. Secara tidak langsung kedua institusi agama ini telah menunjukkan sikap toleransi yang sangat luar biasa.
Di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kedua institusi agama tersebut saling berbaur dan guyub. Interaksi sosial yang damai, sejak dalam kegiatan sosial kemasyarakatan maupun kegiatan sosial ekonomi, diaplikasikan dengan penuh rasa persaudaraan yang sama sekali tidak ada diskriminasi keyakinan.
Kebersamaan keduanya terasa kental, kerukunan yang terjadi dalam interaksi sosial antara Kristen Mojowarno dan Islam Tebuireng, sudah menjadi bukti konkrit perjuangan Gus Dur yang populer dengan sebutan Tokoh Plurarisme.
Tradisi atau budaya yang berbeda diintegrasikan dengan melibatkan keduanya. Ketika tradisi itu berkaitan dengan sosial, keduanya melaksanakan ritual secara bersamaan dan disitu Tokoh Kristen dan Ulama Islam bergantian dalam memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tatkala tradisi tersebut hanya bersifat individu, dalam artian tradisi Islam atau tradisi Kristen saja, merekapun akan ikut serta dalam perayaan tersebut sebagai bentuk toleransi antar beragama dan solidaritas sebagai bangsa Indonesia.
Maka dari itu, tidak berlebihan jika Desa Mojowarno dan Desa Tebuireng disebut sebagai Desa Pancasila karena Bhineka Tunggal Ika yang ada di dalam keduanya atau bahkan bisa disebut sebagai Desa pluralis. Pemeluk agama yang tidak tunggal, tempat ibadah yang juga bermacam-macam, serta budaya agama dari masing-masing hidup dan berkembang tanpa ada gesekan-gesekan dari lintas agama. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang diadakan desa, berjalan semarak tanpa melihat perbedaan.
Konsep pluralisme yang dibawa Gus Dur seirama dengan ajaran yang ada pada agama Islam dan agama Kristen. Sekaligus di dalamnya terkandung sebuah ajaran agar supaya umat Kristen dan umat Islam untuk saling mengasihi antar sesama, seperti halnya mereka mengasihi diri sendiri. Karena semua sama posisinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Apresiasi sebagai bentuk rasa bangga dengan apa yang telah dilakukan oleh Gus Dur, kasih sayang Gus Dur, serta pembelaan Gus Dur yang tidak dibatasi dengan perbedaan. Yang akhirnya mereka menyebut Gus Dur dengan sebutan Ulama seluruh umat.
Betapa hebatnya Gus Dur ketika menjadi saksi ahli di PN (Pengadilan Negeri) mengenai sepasang pemeluk konghucu. Betapa indahnya pembelaan Gus Dur terhadap kelompok lemah Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Betapa gagahnya Gus Dur tatkala mencabut diskriminasi dengan melontarkan pencabutan Tap MPRS No. XXV 1996. Semua yang beliau lakukan terhadap agama lain, perlu digaris bawahi kalau pembelaan Gus Dur bukan dalam dogma, melainkan hak-hak mereka sebagai warga Indonesia dengan satu Ideologi, Pancasila.
Gus Dur meninggalkan kita di tengah keprihatinan yang ditimbulkan kecenderungan kuasa untuk merobohkan tiang demokrasi yang sejak lama ia perjuangkan. Rule of law menjadi sekadar rule by law, dengan berbagai aturan dibuat demi melegitimasikan kepentingan kuasa dalam kemasan pencitraan taat hukum. Pelarangan buku dan ”pemanggilan” media dilakukan. Korupsi politik demi melestarikan kekuasaan merebak dengan mengancam perhatian kuasa dalam mengemban tugas pelayanan dan penyejahteraan.
Kehilangan harus menjadi pemicu bagi kebutuhan. Ibarat perahu Indonesia terancam tenggelam oleh ketiadaan nahkoda kepemimpinan yang kuat, visioner, dan pengayom. Tanpa keteguhan untuk mempertahankan nilai tradisi luhur jati diri bangsa, pemimpin kita mudah menyerah pada dikte kepentingan dan falsafah lain. Tanpa ketinggian dan keluasan visi, kepemimpinan terperangkap dalam ritualisme pencitraan dan pragmatisme jangka pendek, tak memiliki daya antisipatif dalam merespon perkembangan global. Tanpa kesiapan menjadi pengayom, kepemimpinan menjadikan kemajemukan sebagai alat manipulasi politik, melupakan kemungkinan konvergensinya bagi usaha emansipasi dan kemajuan bangsa.
Betapa indahnya bangsa ini jika kita bisa meneladani perjuangan Gus Dur yang sudah melaksanakan tindakan-tindakan nyata, yang perjalanannya begitu tidak mudah. Berbagai rintangan dan halangan beliau lewati dengan penuh tanggung jawab hingga akhirnya beliau disebut sebagai Bapak Pluralisme.
Sumber: http://amanahru.blogspot.co.id/2013/05/mengenang-jasa-gus-dur-harmonisasi.html