Dari Renungan
Menjaga Keutuhan Keluarga
Oleh: R. Sulistyaningsih, S.Si.Teol
Keutuhan adalah keadaan sempurna sebagaimana adanya atau sebagaimana semula (tidak berubah, tidak rusak, tidak berkurang, dsb). Pengertian yang demikian mengajak kita mencermati titik berangkat keutuhan keluarga itu dari dua keadaan awal:
- Keadaan yang utuh, tinggal menjaga dan memeliharanya. Dalam hal ini model keutuhannya adalah keluarga pertama, Adam-Hawa, yang diprakarsai sendiri oleh Tuhan, sebelum jatuh ke dalam dosa.
- Keadaan tidak utuh, sedang dalam masalah. Maka tema ini mengajak kita untuk memulihkan, mengusahakan utuh kembali.
Titik berangkat yang kedua ini tetap relevan dengan keadaan kita sekarang, karena kita tidak boleh menutup mata pada realita bahwa keluarga Kristen pun tidak imun (kebal) terhadap masalah. Itulah sebabnya keutuhan harus dipulihkan, dijaga, dipelihara.
Hal lain yang menarik dari tema kita adalah frase “keutuhan keluarga.” Yang secara tersirat mengandung konotasi kepelbagian dalam keluarga; bahwa keluarga terdiri atas berbagai unsur pribadi yang disatukan di dalamnya. Dari makna yang demikian, maka suasana kepelbagaian keluarga memang memerlukan roh yang mempersatukan hingga utuh.
Keluarga adalah inisiatif Allah, ketika Ia memandang bahwa tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja, maka Ia menciptakan perempuan, Hawa, sebagai penolong yang sepadan. Mengapa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam dan tidak memakai materi yang sama dengan Adam, debu tanah? Hal ini bukan hanya hendak menunjukkan bahwa Allah kita Mahakreatif, tetapi juga mau mengedepankan adanya panggilan keutuhan, kelengkapan, saling ada, melengkapi satu bagi yang lain sebagai suami-isteri. Hal ini diperkuat dengan Kejadian 2:23a, 24, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. ... keduanya menjadi satu daging.” Selanjutnya kepada mereka diberikan mandat budaya untuk beranak cucu dan juga memelihara alam ciptaan-Nya (Kej. 1:28; 2:15).
Demikianlah pada akhirnya kita mengetahui bahwa keluarga pertama-tama adalah inisiatif Allah dan sekaligus melibatkan peran manusia untuk menjalaninya sesuai dengan rencana dan kehendak Allah. berangkat dari pemahaman dasar yang demikian maka guna menjaga keutuhannya pun kita memerlukan dua kekuatan yang bekerja saling mendukung yaitu kekuatan Allah dan juga peran serta manusia itu sendiri.
Pertama, untuk menjaga keutuhan keluarga kita sangat perlu menghadirkan campur tangan kekuatan Allah. Ini bukan hanya karena Allah yang berkehendak; kita perlukan bukan hanya di awal langkah perjalanan keluarga, tetapi selalu, terus dan terus. Mengapa demikian? Karena keluarga adalah bentukan Allah dan karena memang kita memerlukan Allah. Keluarga terdiri atas pribadi-pribadi yang berbeda dalam banyak hal, butuh cinta kasih Allah yang mengikat erat dan terus menjadi daya ikat, memberi daya pulih dalam perjalanan. Keluarga, disadari atau belum, diakui atau tidak, sangat memerlukan Tuhan sebagai kiblat perjalanan, sebagai mercusuar pemandu arah.
Itulah sebabnya, keluarga harus dibangun dan dijalani dengan takut akan Tuhan. Semua pribadi dalam keluarga harus berpikir, berjalan dan bertindak dalam roh takut akan Tuhan. Saya rasa nasihat Paulus dalam Filipi 2:5 hendaknya menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus sangat relevan bagi konteks keluarga.
Segala sesuatu dirasa, dipikir dan dilakukan dengan didasari rasa takut akan Tuhan. Tuhan menjadi model karakter dalam merasa, berpikir dan bertindak satu terhadap yang lain dalam keluarga. Bila ini kita nyatakan, maka tidak lagi dibutuhkan teori-teori berkeluarga yang hebat-hebat, karena keluarga akan utuh di dalam Tuhan. Ada kasih dan pengampunan Tuhan yang sangat mendasar dan dibutuhkan. Allah dengan segala karakter-Nya adalah model dasar untuk menjaga keutuhan keluarga.
Kedua, perlu peran manusia dalam keluarga. Saya senang dengan penggambaran keluarga seperti kapal yang berlayar di tengah lautan. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
-
Kasih dan pengampunan Kita akan mampu hidup dan berjalan bersama dalam keluarga hanya dengan modal kasih dan pengampunan. Mengapa? Karena karakter dasar manusia adalah egois, hanya memikirkan dirinya sendiri, menganggap dirinya selalu baik dan sebaliknya orang lain selalu salah dan kurang. Untuk dapat mengubahnya maka harus ada kesadaran bahwa kita pun lemah dan berdosa; bahwa dengan kasih dan pengampunan Allahlah kita dipulihkan, maka kita pun saling mengasihi dan mengampuni satu terhadap yang lain dalam keluarga (Ef. 4:32; Kol. 3:13).
-
Tanggung jawab bersama pada niat semula Bahwa apapun yang terjadi dalam perjalanan, segala keutuhan kapal keluarga adalah tanggung jawab bersama dan harus terus diupayakan tetap dari dalam kapal itu sendiri. Artinya harus tetap berada dalam kapal, mencari solusi bersama, selalu harus kembali ke dalam keluarga yang utuh, apa yang menjadi niat berkeluarga semula.
-
Menyalibkan keakuan Dalam hal ini tidak ada teori yang mentolerir salah satu anggota kapal keluarga mencari sekoci penyelamat sendiri. Bahwa seluruh anggota tidak boleh hanya memikirkan diri sendiri; harus menyalibkan keakuan, kepentingan diri; harus hidup satu bagi yang lainnya.
-
Saling percaya dan menghargai Dalam segala perbedaan penumpang kapal keluarga harus bisa saling menghargai dan mengakomodir segala aspirasi anggotanya.
-
Playmate (pasangan bermain) Setiap anggota keluarga harus saling menjadi teman bermain, menciptakan suasana, ruang, wadah untuk beracara bersama. Dalam era serba sibuk ini, kebutuhan menciptakan ruang kegiatan bersama makin besar dan urgen. Maka seyogyanya kita tinggalkan sejenak dunia maya dan mari bangun, nikmati dunia nyata keluarga kita.
Mari kita cermati keluarga Adam-Hawa, yang awalnya penuh dengan cinta, kasih-sayang dan kesehatian. Namun dalam perjalanan, keinginan diri untuk mengambil keputusan sendiri, meragukan atau kurang percaya satu pada yang lain, menjadi celah bagi kehancuran keluarga.
Ketika tipu muslihat ular datang, Hawa memutuskan sendiri, maka masalah datang, melanggar titah Tuhan (Kej. 3:7). Dalam mempertanggung-jawabkan perbuatan dosa itu, mereka saling menyalahkan. Namun ending-nya, dengan penundukan diri bersama di hadapan kuasa Tuhan, mereka menjalani pemulihan keutuhan keluarga.
Keutuhan keluarga hanya terjadi bila dua, tiga atau lebih orang dalam keluarga mau berdiam dan berjalan, berpikir, berlaku dengan karakter Tuhan, takut akan Tuhan, penundukan diri kepada Tuhan, bekerja sama dengan cara Tuhan demi menjaga keutuhan keluarga kita. (rs)