Dari Renungan
Pengakuan dan Harapan
Oleh: R. Sulistyaningsih, S.Si
Ada dua hal yang kemungkinan sulit untuk dilakukan oleh orang yang sedang dalam pergumulan atau keterpurukan: pertama, flashback melihat ke belakang dan menemukan kebaikan-kebaikan, tindakan dan pertolongan kasih pihak lain, dan itu membuatnya melihat bahwa masih ada kebaikan dan hidupnya. Kemungkinan ini terjadi karena mata hati dan pikirannya tertutup dan dikaburkan oleh kesulitan yang logikanya disertai kesedihannya. Kondisi demikian makin membuat semua jalan serasa tertutup akan masalah itu. Hal ini akan makin diperparah bila dilengkapi dengan citra diri yang negatif. Pengakuan bahwa ia menjadi begini karena memang layak baginya untuk dihukum, karena ia buruk, tak layak, pantas diperlakukan buruk; menempatkan diri selalu sebagai korban. Citra diri yang demikian akan memperburuk keadaan. Kedua, sebagai akibat dari keadaan yang pertama, orang takut bermimpi, tidak berani berpengharapan. Hidupnya selesai di sini, habis sudah.
Dalam kondisi tak berdaya, konon ada orang yang mencoba mengadakan bargaining, tawar-menawar dengan Tuhan. Bila Tuhan menolong, maka ia menjanjikan melakukan/memberikan sesuatu kepada Tuhan.
Kita akan belajar melihat Eben-Haezer ini dari konteks aslinya dalam Alkitab. Kala itu Israel menjadi bulan-bulanan Filistin dan tentu saja kekalahan bertubi-tubi itu membuat Israel gentar. Mengapa? Karena mereka tahu bahwa kekalahan-kekalahan yang mereka alami adalah tanda bahwa mereka tidak lagi mengalami penyertaan Tuhan. Waktu itu tabut Tuhan, sebagai lambang penyertaan-Nya ditinggalkan di Kiryat-Yearim selama 20 tahun, adalah gambaran hidup jauh dari Tuhan, mereka menyembah baal.
Dalam keterpurukan itu ada hal positif yang ditampilkan Israel, mereka memberanikan diri berseru kepada Tuhan melalui hamba-Nya, Samuel. Allah menjawab dengan teguran keras agar mereka bertobat. Mereka mendengarkan dan bertobat (1 Samuel 7:4). Mereka diingatkan kembali untuk tidak melupakan pertolongan Tuhan dan selalu hidup dalam ketaatan kepada-Nya.
Alkitab selalu mengajarkan kita untuk flashback, melihat ke belakang akan pengalaman perjalanan bersama Tuhan. Dalam konteks Eben-Haezer, hal ini kental sekali nuansanya. Ada dua hal hasil dari flashback itu. Pertama, ada bagian Tuhan yang mereka lihat dan telah mereka alami, bahwa Allah telah menolong mereka. Maka pada bagian inilah lahir pengalaman umat Eben-Haezer, sampai di sini Tuhan menolong kita (LAI: Eben-Haezer; KJV/NIV: Ebennezer). Eben/Even = batu; Ezer= penolong. Batu Penolong (1 Samuel 7:12; 5:1). Batu pengingat/peringatan bahwa Tuhanlah Penolong, bukan yang lain; tanpa Tuhan Israel bukan apa-apa. Melalui batu-batu peringatan itu mereka mengakui bahwa sampai sekarang ini mereka telah ditolong Tuhan; Tuhan telah menolong mereka sepenuhnya; bukan allah yang lain.
Kedua, adalah bagian umat, yaitu panggilan untuk hidup dalam pertobatan, fokus pada Allah dalam perjalanan berikutnya. Mereka tidak boleh hanya berpangku kaki. Pada tahap-tahap peperangan berikutnya hal keberpihakan Allah kembali pada umat-Nya sangat nampak. Artinya, kemenangan dan pertolongan Tuhan itu bagai kerja sama, sinergi Tuhan dan umat yang mau berpadanan dengan Allah.
Apakah kesetiaan/kebaikan kita kepada Allah menjadi prasyarat bagi pertolongan-Nya? Kasih Allah adalah universal dan kekal, jadi secara umum dari pihak Allah kasih pertolongan-Nya tidak bersyarat. Ia menyelenggarakan dan memelihara kehidupan ini tanpa melihat siapa dan bagaimana umat. Ia menerbitkan matahari bagi orang baik maupun orang jahat dan menurunkan hujan bagi orang yang benar maupun yang tidak benar (Matius 5:45).
Namun dari pihak kita, sebagai pemohon, harus ada semacam panggilan moral-etis, syarat kepantasan dalam memohon. Rasanya tidak pantas kita memohon pertolongan Allah bila kita tidak menjalin hubungan dan komunikasi yang harmonis dengan-Nya. Inilah yang saya maksud sebagai panggilan moral-etis. Oleh karenanya banyak di bagian Alkitab yang menyerukan ajakan agar umat berbalik kepada Allah, agar Allah berpihak kembali kepada umat. Keberpihakan Allah kepada umat ini identik dengan jaminan keselamatan yang di dalamnya tentu saja termasuk pertolongan-Nya. Dari sini semua, hal yang paling mendasar bahwa Alkitab hendak mengajarkan kita untuk mengetahui siapa kita di hadapan Allah. Allah adalah Tuhan kita, kita umat ciptaan-Nya. Tentu saja ada konsekuensi logis kepatuhan, ketertundukkan mutlak umat kepada Tuhannya. Dan di dalam Yesus, hubungan Allah-umat itu ditampilkan begitu mesra, sebagai hubungan ketaatan yang penuh kasih mesra. Oleh karena itu ketaatan umat kepada Allah adalah keterpanggilan jiwa, bukan karena takut hukuman. Kalau meminjam istilah perkembangan moral Lawrence Kohlberg, kita sudah harus mencapai tahap pasca-konvensional, bukan pra-konvensional yang berorientasi kepatuhan dan hukuman serta minat pribadi. Bahwa ketaatan kita bukan pula demi pertolongan Tuhan, tetapi karena keterpanggilan jiwa. Dengan keterpanggilan jiwa untuk berbuat baik dan taat itulah kita dapat memenuhi panggilan moral-etis kita dalam memohon pertolongan Tuhan.
Implikasi bagi kita? Pertama, saya tergelitik untuk bertanya: Apakah tabut perjanjian/tabut Tuhan yang adalah simbol kehadiran Tuhan, pernah dirampas iblis dan hilang dari hidup kita? Kok bisa? Inilah yang membuat hidup kita menjadi sia-sia. Mari, janganlah kita menyerah, mari terus bergerak dan fokus kepada Allah, jangan pernah tergoda untuk meragukan kesetiaan Tuhan. Bila kita sempat sedikit goyah, ingatlah bagaimana Tuhan Yesus setia memikul salib-Nya yang begitu berat, setia sampai di Golgota.
Kedua, pengakuan kita akan pengalaman berjalan bersama pertolongan Tuhan di hari-hari kemarin, hendaklah menjadi modal iman dan pengharapan akan pertolongan dan pemeliharaan-Nya di masa-masa yang akan datang. Eben-Haezer bukan hanya sekali. Berdasarkan pengalaman yang pertama, kita berani berharap dalam iman akan adanya Eben-Haezer-Eben-Haezer yang berikutnya, lagi dan lagi. Karena pada prinsipnya Allah adalah Penolong dan Pemelihara hidup kita. Ia selalu meletakkan batu-batu penolong, dan bahkan orang-orang emas di sepanjang perjalanan hidup kita.
Selamat menapaki dan terus menghitung batu-batu pertolongan Tuhan. Selamat hidup berpautan dengan kehendak Allah. Selamat berpengharapan di dalam Tuhan.