Dari Renungan
Pindah dari Lawang ke Jayapura
Oleh: Max T. Manikoe
Aku dipindahkan dari Yon Zipur 5/Brawijaya di Lawang ke Jayapura Irian Jaya pada bulan Juli 1975. Karena masih berpangkat Kapten, kepindahan ini dengan transportasi kapal laut. Kalau harus membeli sendiri tiket pesawat Surabaya – Jayapura, sudah pasti aku tidak bisa menjangkaunya. Sehingga bagiku melakukan perjalanan dengan kapal laut bukanlah hal baru. Tetapi aku merasa surprise dengan kapal yang satu ini, KM BERAU, kapal yang paling bersih yang pernah kulihat dan kutumpangi, apalagi di kelas 2 satu kamar hanya untuk 2 orang. Ternyata di kapal itulah aku berjumpa dengan Mayor CHB Julius Harun (Alumni 1964) bersama istri dan 2 orang anaknya. Aku habiskan waktu dengan asyik mengobrol malam hari di geladak kapal sambil menikmati suara angin dan gelombang. Entah kenapa kami ada juga membicarakan kisah kapal Titanic yang malam hari menabrak es, menyebabkan kapal pecah dan akhirnya tenggelam, seperti yang ada di dalam film “A night to remember”. Anehnya, malam itu kami membayangkan kalau KM BERAU ini yang mengalami hal itu. Menurut orang-orang tua di pulau Sangihe (kampung halamanku) adalah tabu membicarakan hal-hal semacam itu di tengah laut. Tanpa sadar kami sudah membicarakannya. Selama pelayaran dari Tanjung Perak menuju pelabuhan Soekarno-Hatta di Makassar, kami sempat berkenalan dan bergaul akrab dengan Nakhoda dan para Perwira kapal. Kami sering mengobrol santai di anjungan
Bencana itu mulai datang Kapal bergerak meninggalkan Makassar menuju Sorong tanpa singgah di Kendari ataupun Ambon. Tiba-tiba malam itu terdengar bunyi alarm tanda bahaya. Semua penumpang terkejut dan bergegas keluar dari kamar. Ya Tuhan, akan celakakah kami di atas kapal di tengah laut yang gelap dan pekat ini? Tolonglah kami umat-Mu ya Tuhan. Aku sempat berdoa dalam hati. Kemudian aku kembali ke kamar memasang pelampung dan perlengkapannya dengan perasaan takut. Sekujur badanku gemetar menggigil seperti orang kedinginan, lalu aku keluar lagi. Dengan pelampung di badan aku sedikit merasa tenteram. Dari seorang perwira kapal aku diberi tahu bahwa bencana datang dari terbakarnya kasur-kasur yang menumpuk di dalam palka, yang belum diketahui penyebabnya. Pada saat itu sedang dilakukan upaya memadamkan api di palka depan. Puji Tuhan, menjelang pagi hari api di palka depan dapat dipadamkan dan rupanya kapal terus berlayar menuju Sorong selama kebakaran malam itu. Keesokan harinya kami bisa melihat matahari bersinar cerah dan laut tampak terang benderang tidak seperti tadi malam yang sangat gelap gulita.
Doa ucapan syukur Di saat aku merenung, aku terkejut tiba-tiba berkumandang lagi di pengeras suara kapal …… “Perhatian, sebentar lagi acara Doa ucapan syukur akan dimulai, …… dimohon kehadirannya di Salon kapal bapak Haji Syamsul Arifin untuk memimpin doa secara agama Islam ….. dan bapak Kapten Angkatan Darat Max Manikoe untuk memimpin doa secara agama Kristen dan Katholik” ….. wah, aku terdiam, terkejut, namaku disebut … apa pantas aku untuk melakukan ini? Tapi perasaan itu hanya sebentar, aku harus mengusir bisikan iblis dengan tekad dan semangat bahwa ….. TNI harus serba bisa …. aku segera berdoa di dalam kamar: “Ya Tuhan tolong kuatkan iman hamba, Tuhan Yesus. Beri hamba kemampuan untuk melakukan tugas panggilan ini. Amin.” Aku merasa tenang lalu melangkah keluar menuju tempat di mana doa akan dilaksanakan. Sambil melangkah aku mencari kata-kata doa yang akan aku ucapkan. Ternyata lorong-lorong kapal telah penuh orang sampai ke Salon kapal yang juga telah dipadati orang. Aku sempat bertemu dengan sobatku Mayor Julius Harun dengan kedua putra-putrinya. Acara akan diawali dengan kata pengantar dari Mualim-1, dilanjutkan dengan doa oleh Haji Syamsul, baru tiba giliranku berdoa…… Salam sejahtera dalam Tuhan dan Juruselamat kita Yesus Kristus. Mari sama-sama kita berdoa dan mengamininya dengan mengucapkan Doa Bapa Kami … Amin. Usai acara kami saling bersalaman, sungguh begitu besar kasih Tuhan kepada kami semua di atas kapal Berau ini. Di tempat tidur aku merenungi apa yang telah aku lakukan tadi. Ini adalah surprise kedua dalam kehidupan kerohanianku. Yang pertama terjadi pada bulan Desember 1965 di perbatasan Kaltim, di mana aku diminta untuk memberikan khotbah pada suatu kebaktian hari Minggu di gereja Babinuang, Tanah Krayan Kaltim, karena pendetanya pergi ke Paupan untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit. Aku hanya punya waktu sangat singkat. Hari Sabtu sore diberitahu, hari Minggu pagi jam 08.00 aku harus berkhotbah.
Bencana itu datang lagi Tak sampai semalam kami bernapas lega. Dini hari sekitar jam 03.00 alarm tanda bahaya melengking lagi ke seluruh penjuru kapal. Kebakaran masih berlangsung dan terus menjalar ke seluruh bagian kapal, tanpa kami melihat api. Katanya ini satu musibah yang belum pernah terjadi dalam sejarah pelayaran PELNI. Panas ini merembet terus dan semakin panas. Membingungkan untuk memadamkannya, karena apinya ada di dalam celah dinding kapal yang dilapisi material yang mudah terbakar bila terjadi panas yang tinggi pada dinding kapal. Kami hanya bisa menyemprot air ke dinding kapal untuk sekedar mendinginkannya. Nakhoda sudah mengirim tanda bahaya SOS …. (Save Our Soul).
Sungguh Tuhan Maha Baik Sebagai seorang yang masih bujangan saja aku berpikir bermacam cara untuk menyelamatkan diri sendiri nanti, tak bisa dibayangkan bagaimana halnya dengan sahabatku Julius Harun yang membawa istri dan kedua anaknya. Aku segera ke kamar mereka, tetapi pintu dalam keadaan tertutup, kuketuk perlahan namun tiada jawaban … sepi saja. Di saat aku berbalik menerobos berjejal manusia di lorong kelas 2, terdengar pengumuman yang mencengangkan, mengejutkan, mengusir suasana mencekam dari ratusan orang yang sedang menunggu nasib. “Perhatian, di sini Captain Arko Nakhoda KM BERAU, diberitahukan bahwa KM WARISANO yang sedang berlayar menuju Sorong telah menangkap sinyal SOS kita, dan sedang menuju ke sini” Luar biasa!!! rasa gembira yang religius terangkat ke langit memuliakan nama Tuhan. Tuhan Maha Besar, Haleluya, Puji Tuhan …... Semua memuji, memuliakan Sang Khalik, Yang Maha Kuasa, Maha Kasih Sayang, Maha Penolong, Maha Baik ….
Gelombang tinggi hentikan evakuasi KM WARISANO berhenti pada jarak sekitar 100. Kedua sekoci pertama yang penuh sarat dengan wanita dan anak-anak segera diturunkan. Ratusan pasang mata dengan hati berdebar mengikuti evakuasi pertama ini. Nampaknya gelombang laut yang tinggi telah menyulitkan sekoci mendekat dan merapat ke tangga KM WARISANO. Kesigapan dan kehati-hatian ABK kedua kapal menuntun dan mengendong anak-anak dari dalam sekoci, menaiki tangga kapal dengan estafet, sampai di atas KM WARISANO.
Pertolongan Tuhan yang sempurna Tidak lama aku berada di atas KM WARISANO, kapal penolong itu mulai bergerak perlahan setelah tidak ada lagi penumpang di KM BERAU. Tepat di saat matahari terbenam di kaki langit, KM WARISANO menjauh sekitar 200 meter dari KM BERAU. Puji syukur kehadirat Tuhan Maha Besar yang telah memberikan pertolongan dengan sempurna, karena semua penumpang telah selamat di-evakuasi ke KM WARISANO. Luar biasa!! Terlihat satu sekoci dari KM BERAU sarat dengan ABK yang berseragam. Ternyata mereka adalah para perwira KM BERAU termasuk Nakhoda Captain Arko. Mereka adalah orang-orang terakhir yang meninggalkan KM BERAU. Aku terdiam sejenak dan mengelus dadaku perlahan. Kapal malang yang katanya akan berlayar ke Sorong itu, ternyata sendirian tanpa ABK bersama barang-barang penumpang di dalamnya, termasuk peti kayuku. Aku pasrah, nyawa adalah yang utama. Dan untuk kesekian kalinya aku berucap doa “Terima kasih Tuhanku.”
Salam dan hormat saya untuk sahabatku Julius Harun sekeluarga, semoga selalu dalam naungan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin