Dari Renungan
Tanggal: 22 September
"Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat,... Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya...." (Yohanes 13: 13,16)
Mempunyai seorang tuan dan guru tidaklah sama dengan dikuasai/diperhamba dan diajar. Mempunyai seorang tuan dan guru berarti ada seseorang yang mengenal saya lebih daripada diri saya sendiri, yang lebih akrab daripada seorang sahabat, memahami kedalaman hati saya yang terjauh, dan sanggup memuaskannya sepenuhnya. Itu berarti memiliki seseorang yang membuat saya merasa pasti dengan mengetahui bahwa dia telah memenuhi dan mencairkan semua kebimbangan, ketidakpastian, dan masalah dalam pikiran saya. Mempunyai seorang tuan dan guru tidak kurang dari hal ini, "... karena Satu Gurumu, bahkan Kristus ..." (for one is your Master, even Christ, Matius 23:10, KJV).
Tuhan kita, Yesus, tidak pernah mengambil langkah untuk menguasai dan memaksa saya melakukan hal yang diinginkan-Nya. Terkadang, saya berharap Allah mau menguasai dan mengendalikan saya untuk membuat saya melakukan hal yang diinginkan-Nya, tetapi Dia tidak mau. Pada kesempatan lain, saya ingin Dia membiarkan saya sendiri, dan itu pun tidak dilakukan-Nya.
"Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan ...." Namun, benarkah kita menyikapi Dia demikian? Guru, Tuan, dan Tuhan tidak terlalu penting dalam perbendaharaan kata kita. Kita lebih menyukai kata-kata Juru Selamat, Pengudus, dan Penyembuh. Satu-satunya kata yang benar-benar menyatakan pengalaman dikuasai ialah kasih, dan kita hanya mengetahui sedikit tentang kasih seperti yang disingkapkan Allah dalam firman-Nya.
Ini terbukti dari cara kita menggunakan kata taat. Dalam Alkitab, ketaatan didasarkan pada hubungan yang setara; misalnya hubungan antara anak dengan bapanya. Tuhan kita Yesus Kristus bukan hanya hamba Allah – Dia adalah Anak-Nya. "... sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat ...." (Ibrani 5:8)
Jika kita sadar benar bahwa kita sedang dikuasai atau diperhamba, pemikiran seperti itu dengan sendirinya merupakan bukti bahwa kita tidak mempunyai tuan. Jika itu merupakan sikap kita terhadap Yesus, kita jauh dari mempunyai hubungan yang diinginkan-Nya dengan kita. Dia ingin kita berada dalam hubungan di mana Dia menjadi Tuhan dan Guru, "seperti apa adanya", tanpa kita menyadarinya – hal yang kita ketahui hanyalah bahwa kita adalah milik-Nya dan taat kepada-Nya."