Renungan Harian Keluarga Aletea/Konseling Aletea

Dari Renungan

Konseling Keluarga

  • email : konselingkeluarga_aletea@yahoo.com

Pertanyaan:
Sebenarnya saya masih sekolah di salah satu SMA Kristen di ogja. Walau belum berkeluarga, saya mau berkonsultasi di ruang konseling Aletea ini. Sejak SD kelas 5 diasuh oleh Kakek-Nenek di Bantul, karena Mamaku dipanggil Tuhan, dan Papa tugas di Bali dan menikah lagi. Praktis sejak kelas 5 SD itu saya tidak merasakan kasih sayang orang tua. Hanya sesekali Papa telepon dan mengirim uang, dan sekarang Papa tidak lagi mengirim uang, kata Kakak kalau Papa sekarang tidak lagi bekerja, kena PHK, hanya menjadi supir angkot, sedangkan Ibu tiri kami bekerja di bagian administrasi sebuah perusahaan swasta. Mendengar itu terasa pilu hatiku, Papa jauh jadi saya tidak bisa ikut melayani sebagai seorang anak. Mungkin karena itu, Papa selalu dikendalikan oleh Mama tiri, dilarang menjenguk dan mengirim uang. Saya sangat rindu ingin bertemu, tetapi kata Kakak, mustahil karena Ibu tiri kami tentu akan menghalanginya. Bagaimana solusinya, apa yang harus saya lakukan. Salam hormat, Helena.

Tanggapan:
Saudari Helena yang dikasihi Tuhan, ruang konseling ini tidak dibatasi hanya untuk yang sudah menikah. Karena fokus RHK Aletea adalah keluarga, maka anak pun dapat berkonsultasi. engenai kerinduan saudari untuk bisa berjumpa dengan Ayah, memang seharusnya kerinduan itu dimiliki oleh anak. Mengenai adanya kendala karena Ibu tiri, yang katanya mengendalikan Ayah dan akan menghalangi Helena untuk bertemu dengan Ayah, itu khan baru asumsi Kakak dan Helena. Jadi, jangan sampai justru asumsi itu yang menjadi penghambat. Kalau pun benar demikian, tentu ini sebuah tantangan. Tunjukkan bahwa kalian mempunyai kerinduan untuk berjumpa dengan Ayah, dan itu hak kalian sebagai anak, Ibu tiri tidak boleh merampas hak itu. Semoga uraian ini membantu mengatasi kebingungan Saudari, Tuhan Yesus memberkati.

Konseling Keluarga

  • email : konselingkeluarga_aletea@yahoo.com

Pertanyaan:
Salam kasih, Ada satu masalah yang selalu menghantui pikiran saya selama 5 tahun ini, bergejolak antara rasa bersalah dan takut. Tahun 2008 saya melayani di salah satu Jemaat di daerah Jawa Tengah, sebagai Majelis Jemaat. Suatu saat setelah ibadah minggu selesai, saya ditugaskan mendampingi Bendahara mengambil kotak persembahan di depan. Karena harus menitipkan tas, maka pak Bendahara duluan. Mungkin dia tidak menyadari kalau saya mengikutinya yang jaraknya kira-kira 10 meter. Saya melihat dengan jelas dia mengambil 1 buah amplop lalu memasukkannya ke kantong celananya. Saya kaget bercampur malu, ada rasa keengganan untuk mendekat, lalu saya ke pintu samping. Sesaat kemudian baru saya mendekati, dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Saya hanya bisa berucap “maaf pa, tadi harus titipkan tas jadi baru bisa menyusul”. Beliau hanya berkata “tidak apa-apa, ini kuncinya... nanti ibu yang bukain ya... karena saya harus mencatat”. Jantung saya berdetak kencang, “oh... mengapa tindakan seperti ini terjadi di Rumah Tuhan?”. Walau sekarang saya sudah pindah di Sumatera, peristiwa itu sungguh menghantui. Di Gereja, setiap berjumpa dengan Majelis, apalagi yang berjabatan Bendahara, saya teringat peristiwa itu, bahkan muncul pikiran negatif dan curiga terhadap Bendahara Gereja di tempat yang baru ini. Bagaimana mengatasi hal ini, mohon bimbingannya, GBU.

Salam hormat,

Ibu Rini, Lampung Tanggapan:
Ibu Rini di Lampung yang dikasihi Tuhan, Pertama, kita semua tentu prihatin dengan peristiwa seperti itu di Rumah Tuhan. Bukan saja tidak jujur kepada anggota jemaat, tetapi juga tidak jujur di hadapan Tuhan. Hanya saja, perlu dipastikan ibu, apakah betul amplop itu adalah amplop persembahan dari dalam kotak? Jika amplop persembahan, maka tentu tidak ikut tercatat dalam pembukuan hari itu karena sudah dikantongi. Jika demikian, tidak bisa tercatat juga dalam laporan mingguan di warta. Tentu anggota jemaat yang memberikan persembahan itu akan menanyakannya. Ibu, apakah setelah itu ada anggota jemaat yang komplain? Kedua, jika benar itu amplop persembahan dan diambil oleh beliau, maka sangat disayangkan karena sebenarnya bisa dihindari terjadi. Jika ibu tidak harus menitipkan tas dan mendampingi sejak awal, mungkin kasus itu dapat terhindarkan, karena tidak ada kesempatan berbuat seperti itu. Kejahatan bukan karena ada niat saja, tetapi juga karena ada kesempatan. Ibu sendiri sudah menyadari kesalahan itu, itu hal yang baik untuk perbaikan ke depan. Ketiga, jangan ibu mengeneralisasi seolah-olah semua Bendahara berlaku seperti itu. Karena kapan pun dan di mana pun, setiap masuk Gereja pikiran itu akan terus menghantui, curiga dan berpikiran negatif. Keempat, jika masih terus menghantui hati nurani ibu, tidak ada salahnya datang ke Gereja yang di Jawa Tengah itu, berjumpa dengan pak Bendahara dan mengatakan secara terbuka apa yang ibu lihat, pikiran dan perasaan apa yang menghantui ibu selama ini. Karena bisa saja, yang ibu lihat bukan amplop persembahan dari dalam kotak, tetapi amplop lain atau lembaran warta. Jarak 10 meter bukan juga jarak yang tergolong dekat untuk dapat memastikan apakah itu amplop persembahan atau lembaran kertas yang lain.

Kiranya tanggapan ini membantu ibu dalam menghadapi persoalan ini. Tuhan Yesus memberkati.