Dari Renungan
Renungan Harian Keluarga Aletea | |||||
---|---|---|---|---|---|
Renungan | Artikel | Konseling | Kesaksian | Jaringan Pelayan Anak |
Konseling Keluarga
- Pertanyaan
Saya punya seorang teman, namanya Rina, yang suaminya mengalami stroke ringan. Akibatnya suaminya tidak dapat melanjutkan pekerjaannya, akhirnya Rinalah yang menjadi tulang punggung dalam rumah tangga. Suami Rina mempunya seorang kakak sepupu yang berprofesi sebagai psikolog yang suka memberikan konseling juga seperti di rubrik ini. Kakak sepupu beberapa kali mengunjungi mereka untuk konseling, dan atas anjurannya suami Rina dipindahkan ke rumah Orang Tua agar lebih mendapat perawatan, dan dia terus berkunjung ke rumah Rina untuk konseling. Ternyata, belakangan diketahui jika mereka telah menikah di bawah tangan (nikah siri), yang menurut kakak sepupu itu diperbolehkan karena suami Rina sudah tidak bisa lagi menafkahi Rina. Yang mau saya tanyakan, apakah hal ini bisa dibenarkan, diperbolehkan? (Ita)
Tanggapan:
Ibu Ita yang dikasihi Tuhan, dari penuturan ibu saya dapat menyimpulkan bahwa Rina dan juga kakak sepupu suaminya menganut agama Islam. Hal ini nampak dari keyakinan bahwa ketika suami Rina tidak lagi bisa menafkahi, maka Rina boleh saja menikah kembali. Karena dalam kekristenan tidak menganut hukum seperti itu. Berkaitan dengan ini maka saya tidak punya hak untuk menilai apakah diperbolehkan atau tidak, bisa dibenarkan atau tidak. Yang dapat saya soroti adalah proses konseling itu, yang menurut saya terjadi “pelanggaran” etika dalam konseling. Pertama, jika Konseling seorang perempuan, maka sang Konselor merujuknya kepada Konselor Perempuan, atau dia mengajak istrinya ikut serta, bukankah mereka adalah family. Kedua, sang sepupu sebagai Konselor telah jauh masuk dalam kehidupan Konseling, Rina. Sehingga bukanlah lagi empati yang terjadi, tetapi simpati. Terima kasih; Tuhan memberkati.
- Pertanyaan:
Jika menengok kembali ke masa lalu, alangkah bahagianya saya di tahun 80an sampai 90an akhir. Dalam pekerjaan boleh dibilang cukup sukses sehingga mampu membiayai studi kedua anakku sampai menyelesaikan gelar sarjana. dalam pelayanan, tidak kalah sukses, selama 2 periode berturut-turut terpilih menjadi anggota Majelis Jemaat, bahkan pernah menjabat sebagai Ketua Majelis. Setelah itu saya masih tetap aktif dalam pelayanan bagi kaum bapa. Tahun 2002 anakku perempuan melepaskan masa lajangnya, menikah dengan seorang pengusaha muda, namun….. oh Tuhan…. rasanya berat untuk menuliskan ini…… dia ternyata pindah agama. Semangat melayani menjadi padam. Perasaan malu ketemu dengan anggota jemaat lainnya di gereja, “wah…. Aktif pelayanan sih ok...tetapi anaknya pindah agama”… ucapan-ucapan seperti itu pasti yang saya akan dapatkan kalau berjumpa dengan mereka. Akhirnya, sudah hampir 10 tahun saya undur dari pelayanan, bahkan ke gereja kami pun tidak pernah. Karena malu, akhirnya kami terpaksa bergereja di tempat lain. Mohon pencerahan bagi saya. (Berto)
Tanggapan:
Bapak Berto yang dikasihi Tuhan, tidak ada seorang pun yang terbebas dari persoalan hidup. Tidak sedikit pula orang tua yang mengalami persoalan yang sama dengan bapak. Mungkin yang menjadi beban pikiran adalah latarbelakang bapak yang aktif dalam pelayanan dimana pernah menjadi anggota Majelis Jemaat. Memang inilah persoalannya, perasaan bersalah, gagal memelihara pertumbuhan iman anak. Sangat disayangkan bapa mengambil langkah undur dari persekutuan dan pelayanan di gereja bapak. Padahal justru dalam persekutuan dan pelayanan di gereja akan menjadi tempat bapak memperoleh penguatan iman. Kembalilah, ungkapkan secara jujur persoalan bapak dan minta dukungan doa untuk bapak dan teristimewa untuk anak bapak. Walau dia telah mengambil langkah yang salah itu, tetapi bukankah kuasa doa itu dahsyat yang dapat membuat terjadinya “anak yang hilang telah kembali”. Buanglah pikiran kalau ketemu jemaat mereka akan berkata seperti yang bapa pikirkan itu, itu hanya asumsi bapak saja yang belum tentu mereka akan seperti itu. Kiranya dapat membantu, terima kasih; Tuhan memberkati.
- Pertanyaan:
Sering saya bertanya dalam hati, mengapa saat menjadi penganut agama Kristen justru banyak tantangan dan bahkan penderitaan yang saya alami. Banyak teman-teman yang mengatakan kalau pilihanku salah sehingga semua itu menerpa diriku. Bahkan pamanku yang seorang tokoh agama menertawakan diriku, dan sering juga mengumpat “rasain tuh anak, dasar murtad”. Puji Tuhan, Istriku selalu menguatkanku, dia selalu ajak saya ikut persekutuan doa, pendalaman Alkitab. Paling tidak lewat kegiatan-kegiatan itu saya sedikit dikuatkan. Namun tetap saja situasi tidak berubah, terkadang saya iri melihat adik saya yang sungguh berhasil, dia bahkan sudah punya 2 mobil baru. Mohon saya dibantu bagaimana mengatasinya, terima kasih GBU (Andy)
Tanggapan:
Pak Andy yang dikasihi Tuhan, terlepas dari keputusan bapak menjadi Kristen, bukankah suka duka itu adalah dinamika dalam kehidupan? Setiap orang akan mengalaminya. Persoalannya sebenarnya bukan lagi mengapa ada penderitaan dan pergumulan hidup itu, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana menanggapi dan memandang penderitaan dan pergumulan itu dari persektif iman. Dalam perspektif iman Kristen kita memahami bahwa setiap orang yang mau mengikut Kristus dia harus memikul kuk dan salib. Salib dan kuk adalah lambang/simbol pengorbanan dan penderitaan. Hal itu menegaskan bahwa setiap pengikut Kristus tidak akan terbebas dari penderitaan, bahkan pengorbanan nyawa. Yang Tuhan kehendaki adalah, kita tetap setia menjalaninya, dengan tetap berpegang teguh pada iman kepadaNya, maaka padaa akhirnya mahkota kemuliaan kita terima. Terima kasih; Tuhan memberkati.
- Pertanyaan:
Sungguh mengacaukan pikiran, ketika divonis dokter kalau penyakit tidak bisa disembuhkan. Saya mengidap sakit gula, dan parahnya, tangan saya terluka di telapaknya. Awalnya saya anggap biasa, paling juga seminggu sembuh, ternyata sampai sebulan tak juga sembuh, malah semakin membesar. Segala macam obat sudah saya olesin, ternyata tetap tidak sembuh, malah tidak mengering. Pada akhirnya membuat badan saya menggigil, dan harus ke dokter. Oh, my God…. Dokter memvonis kalau luka itu sudah tidak bisa disembuhkan, sudah sangat parah dan harus segera diamputasi, karena jika tidak dia akan menjalar. Selama 1 minggu saya bergumul, menangis, tidak bisa terima kenyataan harus kehilangan dari pergelangan sampai semua jari. Akhirnya atas saran dan desakan dari keluarga, saya pun “relah” kehilangan. Namun sekarang saya diselimuti kekecewaan dan kemarahan, karena ada saja anggota keluarga yang memvonis “bisa jadi ganjaran karena tangannya berdosa”… oh Tuhan, separah apakah dosaku sehingga harus kehilangan tangan? Apakah karena tidak pernah mengangkat tangan untuk memuji dan menyembahMu, tidak melipat tangan untuk berdoa, maka Engkau menghukumku dengan ini? (Deky)
Tanggapan:
Saudara Deky yang dikasihi Tuhan, memang kalau terkena sakit gula maka akan susah disembuhkan jika terluka. Mungkin karena awalnya meremehkan sehingga tidak segera ke dokter. Paling tidak saudara bisa belajar dari peritiwa ini bahwa jangan pernah menanggap remeh luka sekecil apapun. Tidak perlu lagi menyesali diri karena semuanya telah terjadi, terima keberadaan sekarang dengan tetap memiliki motivasi. Anggapan yang mengkaitkan dengan soal dosa, janganlah dijadikan beban pikiran. Tidak semua hal harus dikaitkan dengan dosa, tidak semua sakit ada hubungannya dengan dosa. Ketika berjumpa seorang yang buta sejak lahir, para murid Yesus bertanya “apakah dosa dia, atau dosa orang tuanya?” maka Yesus menjawab “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia”. Jadi, imanilah bahwa ada pekerjaan-pkerjaan Allah yang harus dinyatakan melalui peristiwa saudara dan kehidupan ini selanjutnya. Kiranya dapat membantu, terima kasih; Tuhan memberkati.
- Konseling Keluarga
Pertanyaan:
Lebih dari 10 tahun yang lalu Gereja kami melangsungkan pemberkatan pernikahan. Sesuai dengan isian formulir pengajuan pemberkatan nikah, diketahui kalau dia seorang Duda, dan calon istrinya adalah seorang Janda. Ternyata setelah selesai pemberkatan nikah, datang seorang yang mengaku sebagai suami dari mempelai wanita itu, dengan menunjukkan surat nikah. Spontan kami jadi kaget, dan suasana mulai gaduh. Menurut mempelai wanita kalau mereka sudah bercerai 7 tahun lalu, sejak saat itu suaminya tidak lagi pulang ke rumah. Akhirnya penyelesaian melalui jalur hukum. Yang menjadi pertanyaan saya, apakah pemberkatan yang dilangsungkan saat itu sah secara Alkitabiah? (Peter)
'
Tanggapan:
Bapak Peter yang dikasihi Tuhan, jika ternyata dalam persidangan terbukti bahwa mempelai wanita belum bercerai secara hukum, maka pemberkatan nikah itu telah melanggar hukum. Secara Alkitabiah, itu sebuah perzinahan karena si wanita masih terikat pernikahan. Memandang perempuan dan bernafsu untuk memilikinya sudah dikategorikan sebagai suatu bentuk perzinahan (Matius 5: 28). Matius 5:31 mengatakan bahwa “Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya”. Artinya sebuah perceraian itu sah jika ada surat cerai, yang dalam perundang-undangan kita itu dikeluarkan oleh Pengadilan. Hal yang harus lebih mendapat perhatian adalah Gereja harus tertib administrasi, teliti soal hal-hal seperti ini. Jika si wanita mengatakan sudah bercerai, semestinya Gereja memintanya untuk memberikan surat cerai, jika dia tidak dapat memberikannya maka Gereja harus menangguhkan pemberkatan nikah itu. Karena jika ternyata dia masih terikat pernikahan, maka Gereja telah terlibat dalam proses membuat mereka berzinah, dan Gereja dapat ditindak secara hukum. Terima kasih, Tuhan memberkati.
- Konseling Keluarga
- Pertanyaan:
Sampai sekarang saya masih bingung soal persembahan keluargaku. Sewaktu kecil, saya memperhatikan kedua orang tua memiliki semacam piring mangkok yang diletakan di atas meja dalam kamar. Setiap ayah menjual kelapa atau hasil kebun lainnya, ayah selalu menaruh uang dalam piring tersebut yang ditutup dengan saputangan. Pada hari Minggu di kebaktian uang tersebut dimasukkan dalam kotak persembahan. Ternyata setelah saya merantau dan tinggal di kota praktek seperti itu tidak nampak. Yang saya mau tanyakan adalah, apa makna dari praktek yang dilakukan oleh orang tua saya di kampung? Mengapa ditaruh di piring yang hanya ditutup dengan sapu tangan, bisa saja diambil orang karena pintu tidak tertutup. (Hana)
- Tanggapan:
Saudari Hana yang dikasihi Tuhan, masing-masing tempat memiliki cara dan tradisi tersendiri dalam memberikan persembahan. Biasanya di Indonesia Timur, khususnya daerah Maluku, melakukan seperti yang saudari ceritakan. Sebenarnya uang yang ditaruh dalam piring adalah persepuluhan. Piring itu biasanya dinamakan piring nazar, karena menjadi tempat persembahan yang menjadi nazar keluarga. Setiap orang tua sudah membuat sebuah janji (nazar) untuk menyisihkan persepuluhan dari setiap hasil kebun misalnya, biasanya hasil jual kopra, pala, cengkeh. Tidak akan ada yang mengambilnya karena semua sudah tahu kalau uang yang dalam piring nazar itu adalah milik Tuhan, mereka takut hukuman Tuhan yang dasyat. Maknanya adalah bahwa setiap keluarga harus mempunyai persembahan dari hasil usaha sebagai ungkapan syukur atas berkat Tuhan. Yang dibutuhkan adalah janji, komitment, tekad untuk selalu memberikan. Tentu dilandasi dengan sikap takut akan Tuhan. Di sini orang tua memberikan teladan yang baik. Terima kasih; Tuhan memberkati.
- Konseling Keluarga
- Pertanyaan
Mohon ijin untuk curhat….. Natal identik dengan keceriaan dan sukacita. Tetapi yang kami alami justru sebaliknya. Februari 2014 Tuhan telah memanggil suamiku. Walau hanya sebagai supir angkot jurusan Depok-Rambutan, kami masih bisa menabung untuk beli baju Natal anak-anak. Sekarang, selain membuka kios di rumah, saya menerima cucian dan seterika pakaian beberapa tetangga, tetap saja sulit untuk menabung. Karena prioritas utama adalah susu anakku yang berumur 2 tahun, dan biaya sekolah kedua kakaknya.
Saat Malam Natal, saya bisa menahan kepedihan hati, tetapi tidak bisa menahannya melihat anak-anakku menangis tanpa kehadiran ayah. Keesokan harinya bertambah kesedihan tatkala melihat anak-anak lain dengan pakaian baru sementara anak-anakku apa adanya. Oh Tuhan, salahkah aku bersedih di tengah suasana Natal, kelahiran PutraMu, yang harus disambut dengan sukacita? Ampuni aku ya Tuhan…. (Ibu Vince)
- Tanggapan
Ibu Vince yang dikasihi Tuhan, harus disadari bahwa memang Natal dibuat identik dengan keceriaan, kegembiraan. Tentu tidaklah salah, tetapi pada akhirnya hal itu menyembunyikan satu fakta bahwa di sekitar peristiwa Natal itu pun ada sisi kehidupan yang penuh dengan ratap tangis air mata. Penolakan para pemilik penginapan untuk menampung Yusuf dan Maria juga menjadi sisi ketidak sukacitanya Natal saat itu. Belum lagi peristiwa pembunuhan anak-anak Betlehem oleh Herodes yang sangat memilukan hati para ibu.
Jadi, Ibu Vince jangan merasa bersalah karena situasi itu. Karena itu bukanlah dosa. Yang terpenting ibu dan anak-anak merayakannya dengan hati yang tulus. Paling tidak, dengan peristiwa yang dialami ibu itu, ada sebuah pembelajaran berharga bahwa sukacita itu terletak pada kelahiran Kristus, bukan pada ornamen dan pakaian yang dikenakan saat Natal. Kami akan selalu mendukung dalam doa untuk Ibu dan anak-anak senantiasa diberkati Tuhan. Terima kasih; Tuhan memberkati.
-
Konseling Keluarga
Pertanyaan:
Mohon maaf karena tidak berkaitan dengan persoalan keluarga. Saya dari latar belakang muslim yang mendapat pemahaman iman dari orang tua sejak saya kecil bahwa ketaatan melakukan segala aturan keagamaan agar masuk sorga. Namun setelah menikah dan mengikuti isteri masuk Kristen, rasa-rasanya paham yang diajarkan tidak berbeda dengan kepercayaan lama. Berbagai perbuatan kebaikan kasih, keaktifan dalam berbagai kegiatan gerejawi supaya memperoleh keselamatan. Belum lagi, kelihatanya para gembala jemaat tidak seragam, ada yang menekankan perbuatan kasih, melaksanakan aturan adalah bentuk respon kepada Tuhan atas keselamatanNya, tetapi tidak sedikit juga gembala jemaat yang menyatakan yang sebaliknya. Mohon penjelasannya, Gbu (Bapak Indrianto)Tanggapan:
Bapak Indrianto yang dikasihi Tuhan, memang hal yang menyangkut pemahaman iman susah mendapatkan sebuah kesamaan pandangan dari para rohaniawan. Hal ini terkait pula dengan pandangan teologis dari denominasi gerejanya dan pendidikan Teologi yang diambilnya. Dasar pijakan kita adalah diturunkannya kesepuluh Hukum Tuhan dalam perjalanan Israel menuju Tanah Perjanjian. Kesepuluh hukum itu menjadi ketetapan yang harus dipatuhi, dijalankan sebagai umat yang telah diselamatkan, dibebaskan dari Mesir. Jadi, jelas bahwa diselamatkan dulu baru diberikan hukum/peraturan. Oleh karenanya kedudukan peraturan, dan ketaatan menjalankannya adalah sebagai respon umat terhadap keselamatan yang telah mereka terima. Keselamatan itu telah dianugerahkan melalui kematian dan kebangkitan Kristus, tidak satu pun perbuatan baik yang mampu membawa kita memperoleh keselamatan, hanya karena kematianNya (1 Korintus 15: 54-58). Kiranya dapat membantu, terima kasih; Tuhan memberkati.
-
Konseling Keluarga
Pertanyaan:
Orang tua mana yang bisa tahan menghadapi anak yang susah diatur? Anak yang dari kecil diharapkan bisa memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga, bisa menjadi penyokong sekolah adik-adiknya. Semua perhiasan sudah digadai dan dijual untuk membiayai kuliahnya, diharapkan selesai kuliah terus kerja agar bisa membiayai sekolah 2 adiknya yang masih SMP kelas 2 dan SMA kelas 1. Ternyata kuliahnya tidak beres, tiap hari pamit katanya kuliah, nyatanya keluyuran. Akhirnya harapanku gagal semuanya, anak yang diharapkan ternyata kuliahnya tidak bisa berlanjut. Belum lagi harus memikirkan kedua anakku agar sekolahnya tetap berlanjut. Mohon jika ada langkah yang harus saya tempuh menghadapi situasi ini, terima kasih Gbu. (Ibu Naniek) -
Tanggapan:
Ibu Naniek yang dikasihi Tuhan, itulah dinamika yang memungkinkan kita belajar memaknai hidup ini. Apa yang sudah terjadi tidak akan dapat dipulihkan ke kondisi semula. Mungkin situasi ini telah membuat kondisi ekonomi keluarga semakin sulit, tetapi percayalah ketika Tuhan masih mengijinkan kita hidup, maka Ia akan terus memelihara, sekecil apa pun yang kita peroleh, itu bagian dari berkat pemeliharaanNya. Ketika si janda di Sarfat mengalami stuasi dimana yang ada tinggal sekali makan untuk dirinya dan anaknya, setelah itu tinggal menunggu kematian, di saat genting itu Tuhan hadir dengan pertolonganNya. Kemudian yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana ibu pun harus siap menerima dan mengampuni anak yang telah mendukakan hati ibu. Ajaran Yesus dengan perumpaan tentang anak yang hilang harus menjadi pegangan bagi setiap orang tua. Ketika anak itu menyesal dan kembali, sang bapa berlari mendapatinya dan memeluknya dengan kasih. Ibu pun harus siap “berlari” mendapati si anak dan memeluk dia dengan kasih. Kiranya dapat membantu, terima kasih; Tuhan memberkati.
-
Konseling Keluarga
Pertanyaan:
Agustus sampai September 1999 adalah waktu yang tidak mungkin kami lupakan dalam perjalanan hidup keluarga kami. Situasi yang tidak pernah kami bayangkan akan terjadi, dan kami pun tidak akan pernah berpikiran untuk terulang kembali. Gejolak keamanan Timor-Timur saat itu, menjelang pengumuman hasil jajak pendapat keamanan menjadi sangat tidak kondusif. Sebagai pendatang, seperti halnya yang lain, kami harus segera bergegas mengungsi. Kami harus tinggaqlkan rumah beserta perabot, dan 2 motor kesayangan. Rasanya berat, nafas menjadi sesak, tatkala mamandang rumah yang akan tinggal menjadi kenangan. Perih rasanya, namun kami harus bergegas meninggalkan bumi Lorosae, menuju perbatasan bumi Timor Barat. Pengalaman yang menyesakkan hati itu masih saja sulit terlupakan, bayang-bayang rumah, perabot, dan motor kami masih saja terus hadir dalam angan. Halaman tempat bermain anak-anak rasanya sulit kami lupakan. Apa yang harus kami lakukan agar dapat melupakan semua itu? (Ibu Berta)Tanggapan:
Ibu Berta yang dikasihi Tuhan, perjalanan hidup selalu penuh dengan dinamika. Kita tidak mungkin hanya mau menikmati yang baik-baik saja, karena jalan yang berliku dan berbatu cadas harus kita tempuh juga. Saya bisa merasakan apa yang dialami ibu karena pengalaman yang sama pun saya alami. Pada awalnya sangat menyesakkan hati, namun akhirnya saya menyadari bahwa kehidupan harus terus berlangsung, jangan hanya terpaku pada situasi itu. Sebagai orang beriman kita harus mampu mengubah cara pandang terhadap pengalaman menyakitkan itu, yakni memandangnya dengan iman, bahwa segala sesuatu yang kita alami sekalipun buruk, Tuhan pakai untuk membentuk kita. Mungkin orang merancangkan yang jelek pada kita, atau keadaan membuat kita terpuruk, tetapi Tuhan akan mengubahnya menjadi kebaikan bagi kita. Habakuk 3: 17-19 bisa memberi penguatan. Terima kasih; Tuhan memberkati.
-
Konseling Keluarga
Pertanyaan:
Saya sudah 2 tahun diangkat menjadi anggota Majelis Jemaat di gereja kami. Saya juga tidak tahu apa pertimbangan saya dipilih dan diangkat, karena saya sendiri merasa tidak punya kelebihan apa-apa. Hal ini nyata dari realita bahwa sudah 2 tahun saya belum punya keberanian menjalankan tugas yang lain selain hanya sebagai kolektan, yang mengedarkan kantong kolekte, menghitung uang kolekte dan mencatatkan dalam buku laporan. Saya terkadang iri melihat teman-teman bisa menjadi Primus, Pengakuan Iman, Doa Persembahan, dan lainnya, yang kesemuanya saya merasa tidak berani melakukannya. Saya sangat malu, ada teman Majelis yang terkadang menyindir “dari peneguhan sampai selesai masa jabatan masa Cuma menjadi kolektan?”, walau sambil tersenyum, saya merasa sakit hati, sampai-sampai saya pernah menulis surat pengunduran diri, walau kemudian tidak dikirimkan. Mohon saya diberi penguatan sehingga bisa menjalani pelayananku yang tidanggal 1 tahun. Terima kasih, GBU (Ibu Maria)Tanggapan:
Ibu Maria yang dikasihi Tuhan, pelayanan itu adalah milik Tuhan dan kita dipanggil untuk menjadi mitra bagi pelayananNya itu. Setiap kita diperlengkapi dengan karunia yang berbeda-beda untuk menjalankan tugas pelayanan itu. Semua karunia itu diperuntukan untuk membangun jemaat, jadi apapun karunia itu tetap mempunyai fungsi yang sama yaitu membangun jemaat. Jadi, ibu tidak perlu merasa risau dan malu. Bukankah tugas mengedarkan kolekte, mengumpulkan kolekte dan mencatatnya adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pelayanan? Gereja adalah Tubuh Kristus, dan kita adalah anggota-anggota, yang masing-masing berbeda fungsi namun erat dalam jalinan kerja-sama. Ada banyak rupa karunia, namun tetap satu Roh. Jangan risau mendapat sindiran seperti itu, karena sesungguhnya yang dia sindir bukan ibu, tetapi Tuhan yang dia sindir, tetaplah jalankan apa yang bisa ibu lakukan itu dengan setia. Kiranya bisa membantu, terima kasih; Tuhan memberkati.
-
Surat dari Ibu Suryani
Pertanyaan:
Nama saya Suryani, saya aktif dalam pelayanan, setiap periode pelayanan saya selalu terpilih menjadi pengurus. Namun beberapa bulan ini saya terpaksa undur diri dari aktivitas pelayanan, karena saya sangat kecewa kepada majelis di gereja kami. Saat suami saya meninggal, ternyata gereja cuek, tidak sedikitpun membantu kami, yang saat itu memang sangat membutuhkan pertolongan. Malah Gereja lain yang justru membantu semua kebutuhan, dari peti sampai pemakaman. Apakah salah jika saya berniat untuk pindah Gereja? Karena saya berniat pindah ke gereja yang telah menunjukkan kepeduliannya pada kami. Terima kasih, Suryani.Tanggapan:
Ibu Suryani yang dikasihi Tuhan, kami turut berduka-cita. Mengenai situasi dalam pelayanan, mungkin perlu merenungkan kembali untuk siapa kita melayani. Jika untuk Majelis Jemaat, kita akan kecewa pada mereka. Namun sesungguhnya pelayanan itu untuk Tuhan. Apakah ibu harus kecewa pada Tuhan? Jawabnya tidak ada alasan untuk kecewa, karena Dia telah menunjukkan kasihNya pada Ibu, memperhatikan jerih-payah ibu dalam melayaniNya. Tuhan telah mengutus Gerejanya untuk mengurusi semuanya, walau bukan Gereja di mana ibu terdaftar sebagai anggota. Tuhan punya cara tersendiri untuk menolong kita.Oleh karena itu, mengapa harus pindah? Bukan Gereja di mana ibu terdaftar tidak peduli, tetapi Tuhan mau agar Gereja lain yang menanggung semua kebutuhan ibu, karena Dia tau kondisi keuangan Gereja ibu itu, dan juga keuangan Gereja yang telah membantu ibu. Bukankah keduanya adalah Gereja yang Kepalanya adalah Tuhan Yesus?
-
Surat dari Bapak Ongen
Pertanyaan:
Saya dulu bekerja sebagai seorang pelaut. Status pernikahan saya sekarang adalah "bercerai", secara hukum belum ada penetapan tetapi secara fisik sudah tidak lagi hidup bersama. Saya menceraikan istri karena menurut kakak saya ia kedapatan bersama laki-laki lain. Anak semata wayang ikut dengan saya, awalnya bersama mamanya tetapi saya berusaha merebutnya. Saat ini kondisi kesehatan saya sering menurun, sakit-sakitan, yang menurut "orang pintar" akibat pengaruh santet dari pihak istri dan orang tuanya. Apa yang harus saya lakukan untuk mengatasi hal ini? Di samping itu, saya terkadang merasa sedih tatkala anak bertanya soal mamanya….. ( Bapak Ongen)
Tanggapan:
Pak Ongen yang dikasihi Tuhan, itulah kehidupan pernikahan yang selalu diwarnai dinamika. Tinggal bagaimanaa kita menghadapi dan menjadikannya pelajaran berharga. Ternyata bapak lebih memilih untuk menghindarkan diri dari dinamika itu, tanpa melakukan upaya untuk menyelesaikannya secara tuntas. Kalau memang bapak sudah tidak menhendaki melanjutkan pernikahan itu, tidak semestinya dibuat "nge-gantung" begitu, meninggalkan istri tanpa ada penyelesaian secara hukum. Sangat disayangkan pula, bapak belum mengkonfirmasikan "berita" itu ke istri soal kebenarannya, bisa saja si kakak salah menilai saat melihat istri jalan dengan seorang pria, ternyata si pria itu adalah saudaranya. Coba bapak memberi kesempatan bagi istri untuk klarifikasi. Soal sakit bapak, coba periksakan ke dokter dulu, jangan menduga-duga itu karena perbuatan pihak istri yang menggunakan ilmu santet. Kiranya bisa membantu, terima kasih; Tuhan memberkati. -
Surat dari Helena
Pertanyaan:
Sebenarnya saya masih sekolah di salah satu SMA Kristen di ogja. Walau belum berkeluarga, saya mau berkonsultasi di ruang konseling Aletea ini. Sejak SD kelas 5 diasuh oleh Kakek-Nenek di Bantul, karena Mamaku dipanggil Tuhan, dan Papa tugas di Bali dan menikah lagi. Praktis sejak kelas 5 SD itu saya tidak merasakan kasih sayang orang tua. Hanya sesekali Papa telepon dan mengirim uang, dan sekarang Papa tidak lagi mengirim uang, kata Kakak kalau Papa sekarang tidak lagi bekerja, kena PHK, hanya menjadi supir angkot, sedangkan Ibu tiri kami bekerja di bagian administrasi sebuah perusahaan swasta. Mendengar itu terasa pilu hatiku, Papa jauh jadi saya tidak bisa ikut melayani sebagai seorang anak. Mungkin karena itu, Papa selalu dikendalikan oleh Mama tiri, dilarang menjenguk dan mengirim uang. Saya sangat rindu ingin bertemu, tetapi kata Kakak, mustahil karena Ibu tiri kami tentu akan menghalanginya. Bagaimana solusinya, apa yang harus saya lakukan. Salam hormat, Helena.Tanggapan:
Saudari Helena yang dikasihi Tuhan, ruang konseling ini tidak dibatasi hanya untuk yang sudah menikah. Karena fokus RHK Aletea adalah keluarga, maka anak pun dapat berkonsultasi. engenai kerinduan saudari untuk bisa berjumpa dengan Ayah, memang seharusnya kerinduan itu dimiliki oleh anak. Mengenai adanya kendala karena Ibu tiri, yang katanya mengendalikan Ayah dan akan menghalangi Helena untuk bertemu dengan Ayah, itu khan baru asumsi Kakak dan Helena. Jadi, jangan sampai justru asumsi itu yang menjadi penghambat. Kalau pun benar demikian, tentu ini sebuah tantangan. Tunjukkan bahwa kalian mempunyai kerinduan untuk berjumpa dengan Ayah, dan itu hak kalian sebagai anak, Ibu tiri tidak boleh merampas hak itu. Semoga uraian ini membantu mengatasi kebingungan Saudari, Tuhan Yesus memberkati.
-
Surat dari Ibu Rini
Pertanyaan:
Salam kasih, Ada satu masalah yang selalu menghantui pikiran saya selama 5 tahun ini, bergejolak antara rasa bersalah dan takut. Tahun 2008 saya melayani di salah satu Jemaat di daerah Jawa Tengah, sebagai Majelis Jemaat. Suatu saat setelah ibadah minggu selesai, saya ditugaskan mendampingi Bendahara mengambil kotak persembahan di depan. Karena harus menitipkan tas, maka pak Bendahara duluan. Mungkin dia tidak menyadari kalau saya mengikutinya yang jaraknya kira-kira 10 meter. Saya melihat dengan jelas dia mengambil 1 buah amplop lalu memasukkannya ke kantong celananya. Saya kaget bercampur malu, ada rasa keengganan untuk mendekat, lalu saya ke pintu samping. Sesaat kemudian baru saya mendekati, dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Saya hanya bisa berucap “maaf pa, tadi harus titipkan tas jadi baru bisa menyusul”. Beliau hanya berkata “tidak apa-apa, ini kuncinya... nanti ibu yang bukain ya... karena saya harus mencatat”. Jantung saya berdetak kencang, “oh... mengapa tindakan seperti ini terjadi di Rumah Tuhan?”. Walau sekarang saya sudah pindah di Sumatera, peristiwa itu sungguh menghantui. Di Gereja, setiap berjumpa dengan Majelis, apalagi yang berjabatan Bendahara, saya teringat peristiwa itu, bahkan muncul pikiran negatif dan curiga terhadap Bendahara Gereja di tempat yang baru ini. Bagaimana mengatasi hal ini, mohon bimbingannya, GBU.Salam hormat,
Ibu Rini, Lampung
Tanggapan:
Ibu Rini di Lampung yang dikasihi Tuhan, Pertama, kita semua tentu prihatin dengan peristiwa seperti itu di Rumah Tuhan. Bukan saja tidak jujur kepada anggota jemaat, tetapi juga tidak jujur di hadapan Tuhan. Hanya saja, perlu dipastikan ibu, apakah betul amplop itu adalah amplop persembahan dari dalam kotak? Jika amplop persembahan, maka tentu tidak ikut tercatat dalam pembukuan hari itu karena sudah dikantongi. Jika demikian, tidak bisa tercatat juga dalam laporan mingguan di warta. Tentu anggota jemaat yang memberikan persembahan itu akan menanyakannya. Ibu, apakah setelah itu ada anggota jemaat yang komplain? Kedua, jika benar itu amplop persembahan dan diambil oleh beliau, maka sangat disayangkan karena sebenarnya bisa dihindari terjadi. Jika ibu tidak harus menitipkan tas dan mendampingi sejak awal, mungkin kasus itu dapat terhindarkan, karena tidak ada kesempatan berbuat seperti itu. Kejahatan bukan karena ada niat saja, tetapi juga karena ada kesempatan. Ibu sendiri sudah menyadari kesalahan itu, itu hal yang baik untuk perbaikan ke depan. Ketiga, jangan ibu mengeneralisasi seolah-olah semua Bendahara berlaku seperti itu. Karena kapan pun dan di mana pun, setiap masuk Gereja pikiran itu akan terus menghantui, curiga dan berpikiran negatif. Keempat, jika masih terus menghantui hati nurani ibu, tidak ada salahnya datang ke Gereja yang di Jawa Tengah itu, berjumpa dengan pak Bendahara dan mengatakan secara terbuka apa yang ibu lihat, pikiran dan perasaan apa yang menghantui ibu selama ini. Karena bisa saja, yang ibu lihat bukan amplop persembahan dari dalam kotak, tetapi amplop lain atau lembaran warta. Jarak 10 meter bukan juga jarak yang tergolong dekat untuk dapat memastikan apakah itu amplop persembahan atau lembaran kertas yang lain.Kiranya tanggapan ini membantu ibu dalam menghadapi persoalan ini. Tuhan Yesus memberkati.
-
Surat dari Herlina
Pertanyaan:
Nama saya Herlina, saat ini sedang melanjutkan studi S1 di salah satu Akademi Perawatan di Jogja. Saya perantau, yang mana orang tua sangat mengharapkan segera menyelesaikan studi sehingga dapat bekerja untuk membantu biaya studi 2 adik yang masih di bangku SMA dan SMP. Persoalan yang saya hadapi adalah, sebenarnya kemauan keluarga saya melanjutkan studi di sekolah teologi dengan harapan menjadi Pendeta. Sosok Pendeta bagi keluarga, bahkan masyarakat kami adalah sosok yang sangat tinggi kedudukannya dan sangat dihormati. Mungkin keluarga mau dengan menjadi Pendeta, status sosial kami bisa terangkat. Tetapi karena 2 kali mengikuti test masuk saya selalu gagal, sedangkan saya harus meneruskan studi, saya kemudian mendaftar di sekolah perawatan ini yang sebenarnya menjadi cita-cita saya sejak SMP, tanpa sepengetahuan keluarga. Namun setelah memasuki semester 4 ini timbul gejolak, rasa takut mengaku, kasihan orang tua kalau mendengar hal ini karena setahu mereka saya sekolah teologi. Apa yang harus saya lakukan?
Tanggapan:
Apa yang saudari alami menunjukkan bahwa ketika kita dari awal tidak jujur, terbuka, maka pada akhirnya kita akan terus tidak jujur dan menjadi takut sendiri mengakuinya. Andai sejak awal, saudari terbuka kepada orang tua tentang kedua kegagalan tes masuk sekolah teologi itu, lalu saudari me- mikirkan untuk beralih ke sekolah perawatan karena memang diminati se- jak SMP, pasti situasinya akan lain. Tentu orang tua akan memikirkan solusi terbaik. Apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur. Namun demikian, persoalan ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Saudari telah mempunyai kemauan untuk menyelesaikan, itu modal utama. Untuk meminimalisir dampak negatife, lebih baik saudari meluangkan waktu untuk datang langsung berjumpa den- gan orang tua. Jangan lewat surat, atau pun telepon, apalagi sms. Tentu, yang terpenting adalah, mintalah hikmat Tuhan agar saudari dapat men- gutarakan hal itu, sekaligus agar orang tua dapat menanggapinya dengan bijak. Tuhan Memberkati.