Renungan Harian Keluarga Aletea/Konseling Aletea: Perbedaan antara revisi

Dari Renungan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 2: Baris 2:
==Konseling Keluarga==
==Konseling Keluarga==
<cl>
<cl>
* '''Konseling Keluarga'''
'''Pertanyaan:'''<br>
Saya sudah 2 tahun diangkat menjadi anggota Majelis Jemaat di gereja kami. Saya juga tidak tahu apa pertimbangan saya dipilih dan diangkat, karena saya sendiri merasa tidak punya kelebihan apa-apa. Hal ini nyata dari realita bahwa sudah 2 tahun saya belum punya keberanian menjalankan tugas yang lain selain hanya sebagai kolektan, yang mengedarkan kantong kolekte, menghitung uang kolekte dan mencatatkan dalam buku laporan. Saya terkadang iri melihat teman-teman bisa menjadi Primus, Pengakuan Iman, Doa Persembahan, dan lainnya, yang kesemuanya saya merasa tidak berani melakukannya. Saya sangat malu, ada teman Majelis yang terkadang menyindir “dari peneguhan sampai selesai masa jabatan masa Cuma menjadi kolektan?”, walau sambil tersenyum, saya merasa sakit hati, sampai-sampai saya pernah menulis surat pengunduran diri, walau kemudian tidak dikirimkan. Mohon saya diberi penguatan sehingga bisa menjalani pelayananku yang tidanggal 1 tahun. Terima kasih, GBU (Ibu Maria)
'''Tanggapan:'''<br>
Ibu Maria yang dikasihi Tuhan, pelayanan itu adalah milik Tuhan dan kita dipanggil untuk menjadi mitra bagi pelayananNya itu. Setiap kita diperlengkapi dengan karunia yang berbeda-beda untuk menjalankan tugas pelayanan itu. Semua karunia itu diperuntukan untuk membangun jemaat, jadi apapun karunia itu tetap mempunyai fungsi yang sama yaitu membangun jemaat. Jadi, ibu tidak perlu merasa risau dan malu. Bukankah tugas mengedarkan kolekte, mengumpulkan kolekte dan mencatatnya adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pelayanan? Gereja adalah Tubuh Kristus, dan kita adalah anggota-anggota, yang masing-masing berbeda fungsi namun erat dalam jalinan kerja-sama. Ada banyak rupa karunia, namun tetap satu Roh. Jangan risau mendapat sindiran seperti itu, karena sesungguhnya yang dia sindir bukan ibu, tetapi Tuhan yang dia sindir, tetaplah jalankan apa yang bisa ibu lakukan itu dengan setia. Kiranya bisa membantu, terima kasih; Tuhan memberkati.
* '''Surat dari Ibu Suryani'''
* '''Surat dari Ibu Suryani'''



Revisi per 27 Oktober 2014 01.43

Renungan Harian Keluarga Aletea
Renungan Artikel Konseling Kesaksian Jaringan Pelayan Anak Facebook

Konseling Keluarga

<cl>

  • Konseling Keluarga

Pertanyaan:
Saya sudah 2 tahun diangkat menjadi anggota Majelis Jemaat di gereja kami. Saya juga tidak tahu apa pertimbangan saya dipilih dan diangkat, karena saya sendiri merasa tidak punya kelebihan apa-apa. Hal ini nyata dari realita bahwa sudah 2 tahun saya belum punya keberanian menjalankan tugas yang lain selain hanya sebagai kolektan, yang mengedarkan kantong kolekte, menghitung uang kolekte dan mencatatkan dalam buku laporan. Saya terkadang iri melihat teman-teman bisa menjadi Primus, Pengakuan Iman, Doa Persembahan, dan lainnya, yang kesemuanya saya merasa tidak berani melakukannya. Saya sangat malu, ada teman Majelis yang terkadang menyindir “dari peneguhan sampai selesai masa jabatan masa Cuma menjadi kolektan?”, walau sambil tersenyum, saya merasa sakit hati, sampai-sampai saya pernah menulis surat pengunduran diri, walau kemudian tidak dikirimkan. Mohon saya diberi penguatan sehingga bisa menjalani pelayananku yang tidanggal 1 tahun. Terima kasih, GBU (Ibu Maria)

Tanggapan:
Ibu Maria yang dikasihi Tuhan, pelayanan itu adalah milik Tuhan dan kita dipanggil untuk menjadi mitra bagi pelayananNya itu. Setiap kita diperlengkapi dengan karunia yang berbeda-beda untuk menjalankan tugas pelayanan itu. Semua karunia itu diperuntukan untuk membangun jemaat, jadi apapun karunia itu tetap mempunyai fungsi yang sama yaitu membangun jemaat. Jadi, ibu tidak perlu merasa risau dan malu. Bukankah tugas mengedarkan kolekte, mengumpulkan kolekte dan mencatatnya adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pelayanan? Gereja adalah Tubuh Kristus, dan kita adalah anggota-anggota, yang masing-masing berbeda fungsi namun erat dalam jalinan kerja-sama. Ada banyak rupa karunia, namun tetap satu Roh. Jangan risau mendapat sindiran seperti itu, karena sesungguhnya yang dia sindir bukan ibu, tetapi Tuhan yang dia sindir, tetaplah jalankan apa yang bisa ibu lakukan itu dengan setia. Kiranya bisa membantu, terima kasih; Tuhan memberkati.


  • Surat dari Ibu Suryani

Pertanyaan:
Nama saya Suryani, saya aktif dalam pelayanan, setiap periode pelayanan saya selalu terpilih menjadi pengurus. Namun beberapa bulan ini saya terpaksa undur diri dari aktivitas pelayanan, karena saya sangat kecewa kepada majelis di gereja kami. Saat suami saya meninggal, ternyata gereja cuek, tidak sedikitpun membantu kami, yang saat itu memang sangat membutuhkan pertolongan. Malah Gereja lain yang justru membantu semua kebutuhan, dari peti sampai pemakaman. Apakah salah jika saya berniat untuk pindah Gereja? Karena saya berniat pindah ke gereja yang telah menunjukkan kepeduliannya pada kami. Terima kasih, Suryani.

Tanggapan:
Ibu Suryani yang dikasihi Tuhan, kami turut berduka-cita. Mengenai situasi dalam pelayanan, mungkin perlu merenungkan kembali untuk siapa kita melayani. Jika untuk Majelis Jemaat, kita akan kecewa pada mereka. Namun sesungguhnya pelayanan itu untuk Tuhan. Apakah ibu harus kecewa pada Tuhan? Jawabnya tidak ada alasan untuk kecewa, karena Dia telah menunjukkan kasihNya pada Ibu, memperhatikan jerih-payah ibu dalam melayaniNya. Tuhan telah mengutus Gerejanya untuk mengurusi semuanya, walau bukan Gereja di mana ibu terdaftar sebagai anggota. Tuhan punya cara tersendiri untuk menolong kita.

Oleh karena itu, mengapa harus pindah? Bukan Gereja di mana ibu terdaftar tidak peduli, tetapi Tuhan mau agar Gereja lain yang menanggung semua kebutuhan ibu, karena Dia tau kondisi keuangan Gereja ibu itu, dan juga keuangan Gereja yang telah membantu ibu. Bukankah keduanya adalah Gereja yang Kepalanya adalah Tuhan Yesus?


  • Surat dari Bapak Ongen

Pertanyaan:
Saya dulu bekerja sebagai seorang pelaut. Status pernikahan saya sekarang adalah "bercerai", secara hukum belum ada penetapan tetapi secara fisik sudah tidak lagi hidup bersama. Saya menceraikan istri karena menurut kakak saya ia kedapatan bersama laki-laki lain. Anak semata wayang ikut dengan saya, awalnya bersama mamanya tetapi saya berusaha merebutnya. Saat ini kondisi kesehatan saya sering menurun, sakit-sakitan, yang menurut "orang pintar" akibat pengaruh santet dari pihak istri dan orang tuanya. Apa yang harus saya lakukan untuk mengatasi hal ini? Di samping itu, saya terkadang merasa sedih tatkala anak bertanya soal mamanya….. ( Bapak Ongen)


Tanggapan:
Pak Ongen yang dikasihi Tuhan, itulah kehidupan pernikahan yang selalu diwarnai dinamika. Tinggal bagaimanaa kita menghadapi dan menjadikannya pelajaran berharga. Ternyata bapak lebih memilih untuk menghindarkan diri dari dinamika itu, tanpa melakukan upaya untuk menyelesaikannya secara tuntas. Kalau memang bapak sudah tidak menhendaki melanjutkan pernikahan itu, tidak semestinya dibuat "nge-gantung" begitu, meninggalkan istri tanpa ada penyelesaian secara hukum. Sangat disayangkan pula, bapak belum mengkonfirmasikan "berita" itu ke istri soal kebenarannya, bisa saja si kakak salah menilai saat melihat istri jalan dengan seorang pria, ternyata si pria itu adalah saudaranya. Coba bapak memberi kesempatan bagi istri untuk klarifikasi. Soal sakit bapak, coba periksakan ke dokter dulu, jangan menduga-duga itu karena perbuatan pihak istri yang menggunakan ilmu santet. Kiranya bisa membantu, terima kasih; Tuhan memberkati.

  • Surat dari Helena

Pertanyaan:
Sebenarnya saya masih sekolah di salah satu SMA Kristen di ogja. Walau belum berkeluarga, saya mau berkonsultasi di ruang konseling Aletea ini. Sejak SD kelas 5 diasuh oleh Kakek-Nenek di Bantul, karena Mamaku dipanggil Tuhan, dan Papa tugas di Bali dan menikah lagi. Praktis sejak kelas 5 SD itu saya tidak merasakan kasih sayang orang tua. Hanya sesekali Papa telepon dan mengirim uang, dan sekarang Papa tidak lagi mengirim uang, kata Kakak kalau Papa sekarang tidak lagi bekerja, kena PHK, hanya menjadi supir angkot, sedangkan Ibu tiri kami bekerja di bagian administrasi sebuah perusahaan swasta. Mendengar itu terasa pilu hatiku, Papa jauh jadi saya tidak bisa ikut melayani sebagai seorang anak. Mungkin karena itu, Papa selalu dikendalikan oleh Mama tiri, dilarang menjenguk dan mengirim uang. Saya sangat rindu ingin bertemu, tetapi kata Kakak, mustahil karena Ibu tiri kami tentu akan menghalanginya. Bagaimana solusinya, apa yang harus saya lakukan. Salam hormat, Helena.

Tanggapan:
Saudari Helena yang dikasihi Tuhan, ruang konseling ini tidak dibatasi hanya untuk yang sudah menikah. Karena fokus RHK Aletea adalah keluarga, maka anak pun dapat berkonsultasi. engenai kerinduan saudari untuk bisa berjumpa dengan Ayah, memang seharusnya kerinduan itu dimiliki oleh anak. Mengenai adanya kendala karena Ibu tiri, yang katanya mengendalikan Ayah dan akan menghalangi Helena untuk bertemu dengan Ayah, itu khan baru asumsi Kakak dan Helena. Jadi, jangan sampai justru asumsi itu yang menjadi penghambat. Kalau pun benar demikian, tentu ini sebuah tantangan. Tunjukkan bahwa kalian mempunyai kerinduan untuk berjumpa dengan Ayah, dan itu hak kalian sebagai anak, Ibu tiri tidak boleh merampas hak itu. Semoga uraian ini membantu mengatasi kebingungan Saudari, Tuhan Yesus memberkati.


  • Surat dari Ibu Rini

Pertanyaan:
Salam kasih, Ada satu masalah yang selalu menghantui pikiran saya selama 5 tahun ini, bergejolak antara rasa bersalah dan takut. Tahun 2008 saya melayani di salah satu Jemaat di daerah Jawa Tengah, sebagai Majelis Jemaat. Suatu saat setelah ibadah minggu selesai, saya ditugaskan mendampingi Bendahara mengambil kotak persembahan di depan. Karena harus menitipkan tas, maka pak Bendahara duluan. Mungkin dia tidak menyadari kalau saya mengikutinya yang jaraknya kira-kira 10 meter. Saya melihat dengan jelas dia mengambil 1 buah amplop lalu memasukkannya ke kantong celananya. Saya kaget bercampur malu, ada rasa keengganan untuk mendekat, lalu saya ke pintu samping. Sesaat kemudian baru saya mendekati, dan berpura-pura tidak tahu apa-apa. Saya hanya bisa berucap “maaf pa, tadi harus titipkan tas jadi baru bisa menyusul”. Beliau hanya berkata “tidak apa-apa, ini kuncinya... nanti ibu yang bukain ya... karena saya harus mencatat”. Jantung saya berdetak kencang, “oh... mengapa tindakan seperti ini terjadi di Rumah Tuhan?”. Walau sekarang saya sudah pindah di Sumatera, peristiwa itu sungguh menghantui. Di Gereja, setiap berjumpa dengan Majelis, apalagi yang berjabatan Bendahara, saya teringat peristiwa itu, bahkan muncul pikiran negatif dan curiga terhadap Bendahara Gereja di tempat yang baru ini. Bagaimana mengatasi hal ini, mohon bimbingannya, GBU.

Salam hormat,

Ibu Rini, Lampung

Tanggapan:
Ibu Rini di Lampung yang dikasihi Tuhan, Pertama, kita semua tentu prihatin dengan peristiwa seperti itu di Rumah Tuhan. Bukan saja tidak jujur kepada anggota jemaat, tetapi juga tidak jujur di hadapan Tuhan. Hanya saja, perlu dipastikan ibu, apakah betul amplop itu adalah amplop persembahan dari dalam kotak? Jika amplop persembahan, maka tentu tidak ikut tercatat dalam pembukuan hari itu karena sudah dikantongi. Jika demikian, tidak bisa tercatat juga dalam laporan mingguan di warta. Tentu anggota jemaat yang memberikan persembahan itu akan menanyakannya. Ibu, apakah setelah itu ada anggota jemaat yang komplain? Kedua, jika benar itu amplop persembahan dan diambil oleh beliau, maka sangat disayangkan karena sebenarnya bisa dihindari terjadi. Jika ibu tidak harus menitipkan tas dan mendampingi sejak awal, mungkin kasus itu dapat terhindarkan, karena tidak ada kesempatan berbuat seperti itu. Kejahatan bukan karena ada niat saja, tetapi juga karena ada kesempatan. Ibu sendiri sudah menyadari kesalahan itu, itu hal yang baik untuk perbaikan ke depan. Ketiga, jangan ibu mengeneralisasi seolah-olah semua Bendahara berlaku seperti itu. Karena kapan pun dan di mana pun, setiap masuk Gereja pikiran itu akan terus menghantui, curiga dan berpikiran negatif. Keempat, jika masih terus menghantui hati nurani ibu, tidak ada salahnya datang ke Gereja yang di Jawa Tengah itu, berjumpa dengan pak Bendahara dan mengatakan secara terbuka apa yang ibu lihat, pikiran dan perasaan apa yang menghantui ibu selama ini. Karena bisa saja, yang ibu lihat bukan amplop persembahan dari dalam kotak, tetapi amplop lain atau lembaran warta. Jarak 10 meter bukan juga jarak yang tergolong dekat untuk dapat memastikan apakah itu amplop persembahan atau lembaran kertas yang lain.

Kiranya tanggapan ini membantu ibu dalam menghadapi persoalan ini. Tuhan Yesus memberkati.


  • Surat dari Herlina

Pertanyaan:
Nama saya Herlina, saat ini sedang melanjutkan studi S1 di salah satu Akademi Perawatan di Jogja. Saya perantau, yang mana orang tua sangat mengharapkan segera menyelesaikan studi sehingga dapat bekerja untuk membantu biaya studi 2 adik yang masih di bangku SMA dan SMP. Persoalan yang saya hadapi adalah, sebenarnya kemauan keluarga saya melanjutkan studi di sekolah teologi dengan harapan menjadi Pendeta. Sosok Pendeta bagi keluarga, bahkan masyarakat kami adalah sosok yang sangat tinggi kedudukannya dan sangat dihormati. Mungkin keluarga mau dengan menjadi Pendeta, status sosial kami bisa terangkat. Tetapi karena 2 kali mengikuti test masuk saya selalu gagal, sedangkan saya harus meneruskan studi, saya kemudian mendaftar di sekolah perawatan ini yang sebenarnya menjadi cita-cita saya sejak SMP, tanpa sepengetahuan keluarga. Namun setelah memasuki semester 4 ini timbul gejolak, rasa takut mengaku, kasihan orang tua kalau mendengar hal ini karena setahu mereka saya sekolah teologi. Apa yang harus saya lakukan?


Tanggapan:
Apa yang saudari alami menunjukkan bahwa ketika kita dari awal tidak jujur, terbuka, maka pada akhirnya kita akan terus tidak jujur dan menjadi takut sendiri mengakuinya. Andai sejak awal, saudari terbuka kepada orang tua tentang kedua kegagalan tes masuk sekolah teologi itu, lalu saudari me- mikirkan untuk beralih ke sekolah perawatan karena memang diminati se- jak SMP, pasti situasinya akan lain. Tentu orang tua akan memikirkan solusi terbaik. Apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur. Namun demikian, persoalan ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Saudari telah mempunyai kemauan untuk menyelesaikan, itu modal utama. Untuk meminimalisir dampak negatife, lebih baik saudari meluangkan waktu untuk datang langsung berjumpa den- gan orang tua. Jangan lewat surat, atau pun telepon, apalagi sms. Tentu, yang terpenting adalah, mintalah hikmat Tuhan agar saudari dapat men- gutarakan hal itu, sekaligus agar orang tua dapat menanggapinya dengan bijak. Tuhan Memberkati. </cl>